Oleh: Nanang Nasriyanto
(Direktur Eksekutif Lembaga Opini Publik ORBITPOLL)
Drama Pilkada Ponorogo memasuki babak baru. Koalisi empat parpol menggelar deklarasi bersama mengusung pasangan Sugiri Sancoko – Lisdyarita, sepekan jelang KPUD membuka pendaftaran. Keempat parpol tersebut adalah PDI Perjuangan, PAN, PPP dan Hanura. Untuk menyingkatnya sebut saja Deklarasi Bantarangin, mengambil nama tempat pelaksanannya di Monumen Bantarangin.
Deklarasi Bantarangin itu sendiri telah mematahkan tesis yang dikembangkan pihak petahana selama ini bahwa Pilkada Ponorogo hanya akan diikuti oleh dirinya sebagai calon tunggal. Tidak tanggung-tanggung, petahana menyebut angka 97 persen! Artinya, hampir semua parpol yang ada di DPRD diklaim akan mengusung dirinya, kecuali satu parpol saja. Dan satu parpol itupun hanya memiliki satu kursi saja.
Itulah kenapa saya menyebutnya sebagai babak baru dalam Pilkada Ponorogo. Sebuah babak yang menjadi antitesis dari politik gertakan (bluffing) petahana, atau bahasa Ponorogo-nya politik gedhakan. Gertakan politik itu sendiri merupakan salah satu siasat yang lazim digunakan dalam politik. Melalui teknik ini seseorang berharap bisa meningkatkan bargaining position, sehingga kepentingan politiknya dapat tercapai.
Namun, penerapan politik gertakan harus dilakukan secara hati-hati dan didasarkan pada kalkulasi politik yang benar-benar matang. Sekali saja meleset bisa menjadi blunder yang malah menurunkan kredibilitas orang yang menggunakannya. Istilah gampangnya adalah senjata makan tuan.
Saya sendiri membaca politik gertakan petahana sebagai strategi pre-emptive. Tujuannya untuk menghadang setiap penantang, sehingga dalam pilkada kali ini hanya dirinya yang bisa melenggang bebas. Namun, dalam sudut pandang yang lebih luas, ada dua pihak lagi yang sebenarnya juga menjadi sasaran politik gertakan petahana, yaitu partai politik dan masyarakat pemilih. Gertakan pada partai politik digunakan untuk mempermudah proses menarik dukungan. Sedangkan gertakan pada masyarakat pemilih digunakan untuk meningkatkan elektabikitas.
Lalu, sejauh mana efektifitas strategi pre-emptive yang diterapkan petahana? Mari kita kupas dari beberapa aspek.
1. Koalisi Besar
Di atas kertas, koalisi besar yang diinginkan petahana masih bisa terwujud, tapi tidak akan sebesar yang diharapakan, yakni hingga 97 persen. Dengan 9 kursi sudah pasti ke paslon Sugiri Sancoko – Lisdyarita, maka tinggal tersedia maksimal 80 persen. Angka itupun masih bisa turun lagi, karena secara teori masih ada peluang bagi parpol lain untuk merapat ke Sugiri Sancoko – Lisdyarita, atau bahkan membuat koalisi baru di luar kubu petahana dan kubu Sugiri-Lisdya.
Namun demikian, koalisi besar di angka maksimal 80 persen sebenarnya sudah tidak memiliki nilai urgensi lagi untuk menjegal calon lain. Apalagi yang 20 persen sudah jelas-jelas akan mengusung salah satu paslon. Namun dalam perjalanannya nanti, koalisi besar masih bisa dimanfaatkan menjadi mesin pendulang suara. Itupun dengan catatan mereka bisa mengendalikan dan menggerakkan struktur dan jaringan partai secara efektif.
Di sisi lain, kehadiran paslon penantang merupakan hal yang bagus untuk kehidupan demokrasi di Ponorogo. Adanya dua atau lebih paslon bisa menciptakan iklim persaingan yang sehat dan masyarakat memiliki alternatif pilihan. Dengan adanya persaingan, maka tentunya masing-masing paslon akan menawarkan konsep pembangunan yang terbaik.
2. Ujian Konsistensi
Dengan wacana koalisi besar dan dukungan 97 persen kursi parlemen, sesungguhnya petahana telah membuat garis positioning yang sangat tinggi. Saya sendiri sangat terkejut, karena pernyataan tersebut sebenarnya sangat riskan dan pertaruhannya adalah kredibilitas di mata pemilih. Dengan kata lain, positioning tinggi yang ditetapkan petahana malah bisa menjadi beban. Jika bisa mewujudkan tidak akan menjadi soal. Namun jika meleset bisa menjadi problem konsistensi.
Kemunculan koalisi PDI Perjuangan, PAN, PPP dan Hanura yang mengambil posisi berseberangan dengan petahana merupakan salah satu bentuk ujian konsistensi. Petahana nyata-nyata telah kecolongan tiga partai. Saya sebut tiga partai karena salah satu parpol memang tidak masuk dalam skenario.
Ya. Sedianya tiga dari empat parpol tersebut menjadi bagian dari koalisi besar yang dibangun petahana. Prosedurpun sudah ditempuh dengan mengikuti proses penjaringan calon kepala daerah di tingkat kabupaten. Namun nyatanya mereka telah menetapkan secara definitif untuk mengusung calon lain.
Diakui atau tidak, fakta di atas telah menunjukkan langkah blunder dari petahana. Bisa dikatakan bahwa petahana terlalu gegabah dengan mengklaim dukungan partai hanya dari kalkulasi politik di tingkat lokal kabupaten. Sebuah kesimpulan yang terlalu prematur, karena keputusan untuk merekomendasi pasangan calon adalah ranah mutlak politik di tingkat pusat.
Pada titik ini, Sugiri Sancoko sebagai penantang terlihat lebih matang dan terukur dalam “mengurus” partai politik. Terbukti dia berhasil mendapatkan rekomendasi yang cukup. Apalagi sebagian besar partai tersebut sebelumnya sudah dikapling oleh petahana.
3. Misteri Petahana
Perkembangan situasi politik saat ini menunjukkan bahwa langkah petahana masih misterius. Petahana cenderung diam. Hanya para influencer yang terlihat melakukan pergerakan aktif melalui medsos. Kabarnya juga ada penataan-penataan kader hingga tingkat grass root, namun juga secara diam-diam. Ini sebenarnya kontradiktif dengan strategi gertakan yang telah diterapkan petahana di awal.
Diamnya petahana bisa ditafsirkan ke dalam dua dimensi. Pertama, diam sebagai bagian dari strategi. Kita mengenal ada strategi nge-voor, yaitu membiarkan lawan untuk bergerak lebih dulu. Lawan diberi kesempatan untuk mencuri poin lebih dulu. Tujuannya agar stamina lawan terkuras. Lalu ketika lawan terlihat sudah kelelahan dan lengah, baru dihabisi pada bagian-bagian akhir. Senjatanya bisa dalam bentuk materi, misalnya melalui strategi vote buying.
Kedua, diam sebagai cermin adanya problem internal. Indikasinya, hingga sepekan menjelang pendaftaran langkah pencalonan petahana belum juga konkrit. Padahal partainya sendiri sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk mengusung calon sendiri. Problem internal bisa juga berasal dari persoalan kandidat calon wakil. Banyaknya kandidat wakil di saku petahana sangat berpotensi menimbulkan tarik-menarik kepentingan yang cukup alot.
Bagaimana babak selanjutnya? Kita tunggu saja saat-saat menjelang pendaftaran ke KPUD. Yang jelas, sampai detik ini masih satu paslon saja yang sudah memastikan diri untuk maju, yaitu Sugiri Sancoko – Lisdyarita. Kita tunggu kepastian pencalonan dari pihak petahana. Bahkan masih dimungkinkan juga untuk munculnya kejutan dari paslon ketiga. (*)
Salam Demokrasi