RESPON KEBIJAKAN EKONOMI AS, INDONESIA PUNYA PELUANG BESAR. KALAU SEBELUMNYA TARIK INVESTOR DENGAN TAX HOLIDAY DAN TAX ALLOWANCES, SEKARANG SAATNYA PERBAIKI DAYA SAING YANG FUNDAMENTAL!

Matakompas.com – M Togar Rayditya menilai pengumuman perang dagang dunia ini dimulai sejak Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal kepada sejumlah negara, termasuk Indonesia yang akan segera berlaku efektif. Dalam daftar yang disampaikan, Indonesia dikenai tarif timbal balik sebesar 32 persen.
“Dalam banyak kasus, terutama dalam hal perdagangan, kawan lebih buruk daripada lawan,” kata Trump di saat mengumumkan kebijakan itu di Gedung Putih.
Merujuk laman resmi Kementerian Perdagangan RI, AS memang merupakan penyumbang surplus perdagangan nonmigas nasional tahun 2024. Angka surplus perdagangan Indonesia-AS sebesar 16,08 miliar dollar AS dari total surplus perdagangan nonmigas 2024, yaitu sebesar 31,04 miliar dollar AS.
Ekspor nonmigas Indonesia ke AS antara lain berupa garmen, peralatan listrik, alas kaki, dan minyak nabati. Namun di balik ancaman itu, Togar menyebut terdapat peluang yang bisa dimanfaatkan, yakni meniru siasat Vietnam, yang menjadi “pemenang” perang dagang jilid pertama Trump, antara AS dan China seperti pada 2019 lalu.
Apalagi, catatan Kementerian Perdagangan RI diatas menunjukkan AS adalah salah satu negara penyumbang surplus perdagangan nonmigas pada 2024 lalu. Kontribusi AS mencapai US$16,08 miliar dari total surplus perdagangan migas sebesar US$31,04 miliar.
Selain itu, Kenaikan tarif resiprokal Trump tersebut jika melihat pernyataan pemerhati ekonomi dapat berpotensi memicu resesi ekonomi Indonesia di kuartal IV pada 2025 ini.
“Resesi itu terjadi karena potensi ekspor menurun, harga komoditas makin rendah, penerimaan pajak melemah, fiskal pemerintah tidak mampu berikan stimulus tambahan, hingga sisi konsumsi rumah tangga melemah.”
Kekhawatiran terkhususnya dalam kondisi ini ialah yang terbesar dari tekanan layoff (PHK]) yang lebih besar terdapat di sektor padat karya (garmen terutama) pasca kebijakan ini karena industrinya sendiri sudah lama struggling untuk mempertahankan kinerja usaha, kinerja ekspor dan lapangan kerja.
Sementara untuk sektor lain seperti CPO, biofuel, komponen produk elektrik, permesinan atau kendaraan juga disebut akan terdampak negatif jika di tidak disikapi dengan strategi pemanfaatan hilirisasi atau mencari alternatif negara ekspor.
Tetapi, sektor-sektor itu diperkirakan bisa lebih tangguh bertahan karena dapat mendiversifikasi produksinya ke negara tujuan lain atau mengandalkan permintaan dari pasar dalam negeri.
Hal yang perlu diperhatikan masyarakat ialah melihat tarif timbal balik Trump tersebut yang akan membuat pelemahan nilai tukar rupiah.
Pengamat ekonomi banyak yang memprediksi dalam jangka dekat, kurs rupiah akan melewati Rp17.000 terhadap dollar Amerika per 7 April 2025 ini.
“Kalau kurs sudah di atas Rp17.000 dan ini batas psikologis seperti pada 1998. Padahal pemerintah punya utang besar yang berdenominasi dolar. Itu akan menaikan belanja bunga utang.”
Berdasarkan data BI, utang luar negeri Indonesia tembus US$427,5 miliar atau Rp6.997 triliun per Januari 2025. Jumlah itu dengan asumsi kurs US$1 senilai Rp16.370.
Pelemahan rupiah, akan menciptakan sentiment negatif di pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan terdampak langsung dan bisa anjlok.
Tercatat sepanjang Januari hingga 6 Maret 2025, aliran modal asing yang keluar (capital outlow) sebesar Rp20,12 triliun. Angka ini belum termasuk potensi dampak dari kebijakan tarif Trump.
Selain itu, korporasi besar di Indonesia yang memiliki utang dalam denominasi dolar juga terancam goyang, bahkan bisa berpotensi pailit.
“Oleh karena itu antisipasi mereka memilih PHK, daripada mengkonversi utangutangnya. Jadi PHK yang sudah masif akan semakin massif.”
Apakah ada peluang dari kebijakan AS untuk Pelaku Ekonomi di Indonesia?
Kendati demikian, justru di tengah beragam potensi ancaman itu, ternyata ada peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia yang dikenakan tarif 32% itu. Indonesia bukan sasaran utama, tapi yang disasar adalah negara-negara kompetitor seperti China yang diatas Indonesia 2%, Vietnam di atas Indonesia 14%, hingga Kambojayang mencapai total 49% atau 17% diatas Indonesia.
Jadi kalau Indonesia jeli untuk melihat peluang ini, Indonesia bisa mengambil pasar yang para kompetitor tersebut justru kalah di situ. Tapi tentu saja itu bukan sesuatu yang given, tapi tetap harus diusahakan dengan strategi-strategi yang tepat dengan peluang yang ada. Kata Togar.
Pelajaran berharga dapat diambil dari negara seberang saudara ASEAN, Ya, Vietnam.
Pengenaan tarif timbal balik AS ini bukan kali pertama bagi Trump. Pada 2019, dia melakukan kebijakan sama, yang menciptakan perang dagang antara China dan AS.
Di balik perang itu, ada satu negara yang berhasil mengambil manfaat, yaitu Vietnam. Saat itu, Vietnam secara cerdik mensubtitusi produk China di AS dan memudahkan investasi asing masuk ke negaranya.
Vietnam memiliki kemiripan produk ekspor yang cukup tinggi dengan China sehingga dia mampu mengantikan ruang kosong yang ditinggalkan China di AS.
“Vietnam juga mempunyai fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dan Bilateral Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) dengan AS sejak 1994. Adapula potensi pelabelan ulang produk China di Vietnam,
Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan tingkat kemudahan Investasi yang cukup baik akhir-akhir dalam perbandingan dengan Vietnam tersebut tentu masih perlu evaluasi besar dengan tantangan seperti adanya hambatan operasional dari investor asing hingga kebutuhan SDM yang memadai terkhususnya syarat pekerja lokal yang bekerja di perusahaan asing di Indonesia tersebut. Jelas Togar.
Walaupun tingkat kesamaan ekspor Indonesia dengan China ke AS relatif sedikit, ada beberapa produk yang bisa dimanfaatkan.
“AS masih membutuhkan produk lain seperti mineral, logam, dan barang konsumen. Indonesia mempunyai 10 komoditas utama ekspor seperti batubara, besi/baja, minyak kelapa sawit, bijih tembaga, nikel.”
Selain itu, perkembangan global menuju transisi hijau, membuka peluang besar bagi Indonesia sebagai negara penghasil mineral kritis untuk mendukung teknologi ramah lingkungan.
“Indonesia dapat memperkuat posisinya sebagai penyedia bahan baku teknologi ramah lingkungan sekaligus menciptakan ekonomi yang inklusif.”
Kunci Indonesia Kebal dari Kebijakan Trump dan Resesi Ekonomi?
Menuju tantangan Indonesia Emas 2045 bukanlah hal yang mudah. Banyak yang harus dipersiapkan termasuk respon atas kebijakan ekonomi global.
Pemerintah Indonesia harus berlomba untuk memikat investor asing guna membangun pabrik mereka di dalam negeri. Hal ini dikarenakan para investor berpotensi memindahkan pabrik mereka dari negara yang terkena tarif resiprokal besar AS.
“Kuncinya di regulasi yang konsisten, efisiensi perizinan, tidak ada RUU yang buat gaduh, seperti RUU Polri dan RUU KUHAP mungkin bisa ditunda dulu, kesiapan infrastruktur pendukung kawasan industri, sumber energi terbarukan yang memadai untuk pasok listrik ke industri, dan kesiapan sumber daya manusia.”
Faktor-faktor di atas jauh lebih penting karena Indonesia sudah tidak bisa guyur insentif fiskal berlebihan dengan adanya Global Minimum Tax.
Selain memperbaiki kondisi dalam negeri, pemerintah perlu mencari alternatif negara ekspor, seperti di Afrika ataupun Timur Tengah sebagai mitra pengganti yang pertumbuhannya relatif stabil.
Kemudian, Indonesia juga bisa mempererat hubungan dengan negara-negara yang tergabung dalam BRICS, “untuk memperbesar porsi intratrade dan kerjasama investasi serta moneter.”
Upaya lain yang perlu dilakukan adalah pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh atas program-program jangka pendek, menengah dan panjang (PJPMP).
“Anggaran-anggaran yang tidak berdampak untuk menghadapi jangka pendek ditunda dan dilakukan shifting untuk menciptakan stimulus ekonomi, bukan pengetatan, ke kalangan pelaku usaha, lebih khusus ke UMKM dan daerah,”katanya.
Melihat sejarah lalu, penyelamat ekonomi Indonesia pada krisis ekonomi 1998 dan 2008 adalah sektor UMKM, pertanian, dan ekonomi keluarga. Pemerintah harus melakukan stimulus ke sektor ini agar menjadi penopang ekonomi Indonesia di kala situasi internasional sedang goyang.
Para pengamat juga menyoroti program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang lebih bertujuan pada jangka menengah dan panjang, yaitu mengatasi stunting dan gizi buruk.
“MBG ini,dilaksanakan dengan nominal kurang lebih bernilai Rp71 triliun, lalu sisanya sebaiknya ditunda dulu dan dialihkan ke stimulus perekonomian untuk kalangan UMKM, daerah, pertanian, itu menjadi lebih prioritas.”
Pemerintah juga perlu segera melakukan diplomasi bilateral dengan AS untuk menciptakan pemisahan bagi produk ekspor Indonesia.
“Bila memungkinkan kami ingin agar Indonesia dan AS menciptakan kesepakatan dagang bilateral agar tarif bisa dieliminasi sepenuhnya dan Indonesia bisa menciptakan supply chain perdagangan yang efisien dengan industri di AS.” ***