Daerah

RASIONALISASI PENEGAKAN MERUSAK WIBAWA HUKUM

Oleh : Afrianus Ada
Mahasiswa(Aktivis Hukum)

JAKARTA–JARRAKPOSKUPANG.COM
Membaca beberapa portal berita online seminggu belakangan yang memberitakan beberapa aksi ‘premanisme’oleh oknum aparat kepolisian regional lingkup Polda NTT terhadap warga sipil,diantaranya yaitu ulah oknum polisi di Manggarai barat seperti yang diberitakan kompas.com pada
13 April 2020 dan juga peristiwa yang sama terjadi di Maumere,Kabupaten Sikka beberapa hari yang lalu oleh aparat kepolisian pada Seorang pria bernama Marinus manis asal kloanglagot Maumere, yang menyebabkan luka memar dan berdarah pada bagian muka Korban.

Kejadian ini adalah Potret kecil dari banyaknya kebobrokan etika profesi dan penyalahgunaan wewenang secara yuridis oleh oknum aparat kepolisian,dengan alasan yang dirasionalisasi pada masyarakat kecil yang awam hukum.

Pria asal Sikka Yang Menjadi Korban Yang Diduga Dilakukan Oleh Oknum Polisi

Peristiwa ini juga merupakan tindakan yang tidak berprikemanusiaan dan kontradiktif dengan visi misi institusi Polri seperti yang termuat dalam UU no.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 2 Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Perbuatan semacam ini jelas melanggar hukum dan HAM,serta mengakibatkan hilangnya Kredibilitas Polri Dimata masyarakat Indonesia, ketidakpastian penegakan hukum serta ketidakadilan dalam penerapannya menggerogoti wibawa hukum.Seperti kita ketahui Bahwa negara Indonesia adalah Rechtstaat ( negara hukum ) yang jelas diatur dalam pasal 1 ayat ( 3) UUD 45
UUD 1945 (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.

Namun apa yang selama ini terjadi adalah tindakan amoral dan bertentangan dengan norma Hukum,Agama dan juga adat yang erat dianut oleh masyarakat Indonesia.
Mari kita bedah satu persatu kekeliruan dan tindak kekerasan ini :
1.Apa yang menjadi dasar hukum tindakan aparat kepolisian ini?

Jelas bahwa secara yuridis normatif tindakan kepolisian dalam menertibkan dan menjaga keamanan selama masa pandemi covid19 merujuk pada maklumat Kapolri bernomor: Mak/2/III/2020 dan juga Peraturan daerah Kabupaten Sikka tentang penertiban jam malam.

 

Kejanggalannya menurut kronologi dalam pemberitaan antara lain adalah:
Apa yang dilakukan korban sama sekali tidak bertentangan dengan isi maklumat Kapolri dan juga tingkat resikonya relatif kecil terhadap lingkungan dan orang.Bahwa yang bersangkutan sedang ingin membeli nasi bungkus menggunakan sepeda motor,ini juga tidak bertentangan dengan Perda jam malam menimbang apa yang dilakukan adalah hal yang bersifat urgent.Bila korban dalam keadaan mabuk maka etisnya adalah diberhentikan dan dipulangkan,namun apabila korban tidak kooperatif maka polisi dapat melakukan tindakan dengan mengamankan korban tanpa harus ada kekerasan.

2.Apa saja pelanggaran hukum dalam kejadian ini ? Tentu hal pertama yang salah secara hukum adalah tindakan oknum polisi secara kekerasan melakukan pemukulan terhadap korban.Bahwa dalam Perkapolri no. 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian,
secara eksplisit dijelaskan bahwa ada beberapa tujuan digunakan kekuatan yaitu dalam pasal
2 )Tujuan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian adalah:
a.mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang
sedang berupaya atau sedang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum;
b.mencegah pelaku kejahatan atau tersangka melarikan diri atau melakukan tindakan yang
membahayakan anggota Polri atau masyarakat;
c.melindungi diri atau masyarakat dari ancaman perbuatan atau perbuatan pelaku kejahatan atau
tersangka yang dapat menimbulkan luka parah atau mematikan; atau
d.melindungi kehormatan kesusilaan atau harta benda diri sendiri atau masyarakat dari serangan yang melawan hak dan/atau mengancam jiwa manusia
Dari tujuan diatas jelas bisa kita simpulkan bahwa tidak dibenarkan upaya oknum yang bertentangan dengan anjuran hukum dalam tugasnya.

Lebih jauh dalam pasal 3 tentang Prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian
meliputi:
a.legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku;
b.nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan
tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi;
c.proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan;
d.kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota Polri diberi kewenangan untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum.
e.preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan pencegahan;
f.masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tindakan kepolisian diambil dengan
mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat.

Dalam pasal semua yang dilakukan oleh oknum kepolisian sangat tidak sesuai dengan prinsip dan azaz hukum positif Indonesia.Mengingat bahwa korban dalam posisi yang sedang tidak membahayakan keselamatan lingkungan sekitar dan masyarakat, dan sedang tidak melawan ataupun melarikan diri sehingg butuh tindakan yang mengakibatkan luka pada korban.Mengingat aturan hukum dan juga keadilan hukum seperti amanat konstitusi dan juga pancasila.

Dalam pasal 13 ayat (1) Setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya.Dan merujuk pada azas hukum equaliti before the lawa dan UUD 1945 Pasal 27(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Maka oknum polisi yang melakukan kekerasan yang mengakibatkan luka seperti yang diatur dalam
KUHP
Buku Kedua – Kejahatan
Bab XX – Penganiayaan
Pasal 351
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.Anomali hukum dan juga upaya sewenang-wenang oknum aparat penegak hukum sudah seharusnya
tidak terjadi di negara Indonesia yang merupakan negara hukum,apapun alasannya penggunaan kekerasan dalam penerapan hukum adalah pelanggaran HAM dan juga etika profesi dan juga nilai-nilai kemanusiaan.
Atas dasar itu maka hukum harus ditegakkan adil pada semua orang tanpa pandang bulu.

‘FIAT JUSTITIA RUAT CAELUM’
(Keadilan harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh)

Jarrakposkupang.com/Mario Langun
Editor:Uta

  Banner Iklan Rafting Jarrak Travel

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button