Opini

Memudarnya Demokrasi Amerika Serikat

Putu Suasta, Alumnus UGM dan Cornell University

Matakompas.com – Di tahun 1970-an, Presiden Ronald Reagen membuat terkenal julukan Amerika Serikat (AS) sebagai “the shinning city on a hill”. Jika bangsa diibaratkan dengan sebuah kota, AS merupakan kota bercahaya di atas bukit dan kota-kota lain menoleh kepadanya.

Begitulah kira-kira pengertian julukan tersebut yang menyiratkan AS sebagai puncak dari pencapaian peradaban manusia: kemajuan teknologi, kesejahteraan, kematangan sistem politik (demokrasi), kekuatan ekonomi dan militer dan kedigdayaan kekuasaannya di seluruh dunia. Kini, masihkan AS layak disebut “the shinning city on a hill?”.

Hilangnya Politik Kebangsaan

Menyaksikan pertikaian politik di AS beberapa hari ini dengan penggerudukan massa pendukung Trump ke Capitol Hill, sulit membayangkan bahwa negeri Paman Sam tersebut selama beberapa dekade membuhulkan dirinya sebagai “champion of democracy”. Alih-alih, kita menyaksikan sebuah negara yang sedang belajar berdemokrasi. Di bawah pemerintahan Trump, AS bukanlah lagi negara yang memantulkan cahaya-cahaya demokrasi.

Sebagaimana dilaporkan Assosiated Press (07/01/20), sebagian besar pendukung Trump yang menyerang Capitol Hill percaya pada teori-teori konspirasi yang digaungkan kelompok sayap kanan ekstrem bahwa Trump adalah korban dari kecurangan Pemilu. Desas desus tanpa bukti sama sekali dipercaya begitu saja oleh masyarakat negara maju.

Assosiated Press juga melaporkan bahwa Trump turut mendorong aksi massa tersebut melalui komentar-komentar provokatifnya sehingga akunnya dinonaktifkan oleh Twitter dan Facebook. Tak seorangpun dari kita pernah membayangkan bahwa kekonyolan seperti ini terjadi di negara yang mengaku sebagai kiblat demokrasi.

 

Trump praktis mempertontonkan kepada dunia politik yang hanya berorientasi kepada kekuasaan, bukan kemaslahatan umum (kebangsaan) sebagaimana mereka ajarkan melalui doktrin demokrasi selama ini.

Hal ini tercermin tidak hanya di dalam AS sendiri tetapi juga dalam hubungan-hubungan luar negeri yang lebih banyak mengandalkan ancaman, sanksi, manuver-manuver memecah belah, daripada kemitraan-kemitraan yang saling memberdayakan dan demi kemajuan bersama.

Fundamen Ekonomi Keropos

Dalam beberapa tahun terakhir mulai menguat keraguan para pelaku pasar terhadap posisi dolar AS sebagai fundasi stabilitasi ekonomi dunia. Kerusakan di Capitol Hill memperkuat keraguan tersebut.

Sebagaimana dilaporkan oleh bloomberg (6/01/20) Indeks Dolar (ukuran nilai dolar terhadap 6 mata uang dunia) terjun bebas hingga ke angka 89,9 paska kerusuhan tersebut. Untuk mengatasi pelemahan dolar yang semakin tak terkendali, The Fed (Bank Sentral AS) mencetak likuiditas dolar tanpa batas.

Banjir dolar memang untuk sementara bisa menyelamatkan ekonomi AS dari krisis tetapi pada akhirnya, mata uang yang berlimpah di pasar suatu saat akan memunculkan masalah terutama karena jaminan yang digunakan oleh AS untuk mencetak dolar tersebut hanya surat hutang atau kertas, bukan emas atau aset berharga lain (Majalah Tempo, 09/01/20).

Para analis ekonomi memprediksi, keruntuhan ekonomi AS hanya menunggu waktu jika cara-cara yang di tempuh Trump masih terus berlanjut. Trump masih bisa bernafas lega tidak dirundung resesi berkat warisan ekonomi yang cukup baik dari pendahulunya.

Tapi dengan berbagai ancaman yang kini menghampiri seluruh dunia (terutama karena pandemi) dan semakin berjayanya China sebagai penantang dominasi AS, tinggal menunggu waktu cahaya terang AS padam jika terus jumawa dengan kedigdayaannya selama ini.

Kini semakin terang bahwa politik yang hanya berorientasi kekuasaan pada akhirnya tidak bisa menggapai lebih tinggi, alih-alih akan melorot dari pencapaian selama ini.

Demokrasi bekerja dengan benar dan baik hanya jika dijalankan oleh politisi-politisi berwawasan dan bermental kebangsaan. (Red/Mk)

  Banner Iklan Rafting Jarrak Travel

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button