by:
Prof. IPutu Sudiarsa Boy Arsa, LLB., PH.D ( Pimpinan kantor Hukum Rajawali Kusuma Indonesian Law Firm / Pengurus PERADI Bersatu RI)
MataKompas.com | Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 adalah Undang Undang yang mengatur tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Didalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuaasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UU secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. (Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021)
Siapakah Jaksa itu? Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta wewenang lainnya.
Lalu siapakah Kurator itu? Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU 37/2004) kurator adalah balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan hakim pengawas.
Pasal 69 ayat (2) huruf a UU a quo menyebutkan, “Dalam melaksanakan tugasnya, kurator: (a) tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan.”
Pasal a quo dianggap memberikan hak yang dominan dan tidak terbatas terhadap seorang kurator dengan menempatkan kedudukan debitur selaku pemilik harta pailit sebagai pihak luar dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Definisi studi kasus adalah proses pencarian pengetahuan guna menyelidiki dan memeriksa fenomena yang terjadi antara Jaksa dengan Kurator dalam kehidupan nyata. Studi kasus yang diangkat adalah kasus Perkara pidana money laundering dan penipuan yang melibatkan Pengurus First Travel di Jakarta, kasus ini perlu didiskusikan oleh pakar Hukum karena adanya fenomena dalam kehidupan nyata memiliki batas yang samar atau tidak jelas.
Dalam kasus pidana First Travle di Jakarta Putusan PK Mahkamah Agung menyebutkan Menyita aset First Travel dan Pengurus First Travel, aset aset itu diperintahkan untuk diberikan kepada para jamaah haji dan ibadah umroh karena mereka ini adalah kreditur dari First Travel.
Jaksa adalah eksekutor dalam putusan pidanah yang sudah ingkrah, maka dalam kasus Pidana First Travel yang sudah ingkrah ini Jaksa akan melakukan penjualan semua aset yang sudah disita oleh pengadilan milik First Travel yang nantinya hasil penjualan itu akan dibagikan kepada Kriditur (para jamaah haji dan ibadah Umroh). Bagaimana dengan nasib para kreditur diluar jamaah haji ? Tentunya tidak kebagian, karena Putusan MA memerintahkan agar Aset milik First Travel diberikan kepada para jamaah haji dan ibadah Umroh.
Dilain pihak ada Perkara PKPU First Travel. Apa yang dimaksud dengan PKPU? Singkatan dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang adalah suatu proses dimana Pengadilan melarang Kreditor untuk memaksa Debitur dalam membayar utangnya pada jangka waktu tertentu. Pada jangka waktu PKPU tersebut, debitur dapat mengajukan rencana perdamaian dengan para Krediturnya.
Fakta dilapangan First Travel dan Para Krediturnya baik itu para jamaah haji maupun para ibadah umroh sudah ada kesepakatan untuk Berdamai dihadapan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Isi dari Perdamaian itu sudah disahkan
(dihomologasi) oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam bentuk Putusan Pengadilan yang tentunya putusan ini juga sudah sah dan mengikat baik bagi First Travel maupun Krediturnya haji dan Ibadah Umroh) hal ini sesuai Ketentuan Pasal 286 UU Kepailitan no. 37 tahun 2004.
Perdamaian dalam bentuk PKPU ini isinya mengikat kedua belah pihak kecuali sudah di batalkan oleh Pengadilan Niaga berdasarkan Pasal 291 Undang Undang Kepailitan.
Inilah Penomena menariknya untuk dijadikan sebagai Studi kasus oleh para pakar Hukum karena muncul Permasalahan hukum yang baru:
Isi Putusan yang ingkrah kasus pidana First Travel memerintahkan kepada First Travel untuk melakukan pembayaran tagihan kepada Kreditur (para jamaah Haji dan Ibadah Umroh) dengan cara melakukan penjualan aset First Travel tetapi untuk Kreditur diluar para jemaah Haji dan ibadah umroh contoh seperti kreditur negara (tagihan pajak) tidak dibayar karena tidak termasuk didalam Putusan Pidana MA sehingga Jaksa tidak akan mebayarnya karena Jaksa melakukan eksekusi berdasarkan isi dan perintah dari putusan MA yang sudah ingkrah jadi ganti rugi dan atau pembayara hanya diberikan kepada Kreditur jamaah Haji dan ibadah Umroh saja .
Seandainya Jaksa saat melakukan membayarkan tagihan kepada Kreditur baik para jamaah haji maupun ibadah Umroh tidak semua terbayar karena aset tidak cukup maka bagaimana status tagihan kreditur (para jamaah haji dan ibadah Umroh) yang belum terbayar dalam kasus PKPU? Apakah otomatis dihapuskan dan mereka keluar dari PKPU? Kreditur yang sudah terbayar lunas, tentu tidak masalah Kalau dicoret dari daftar kreditur di PKPU.
Lalu Kreditur yang belum lunas terbayar bahkan sama sekali belum dapat ganti rugi tentu tidak menerima perlakuan yang tidak adil itu karena haknya belum terpenuhi oleh First Travel.
Jika First Travel wanprestasi pada Perjanjian Perdamaian dalam PKPU yang sudah disepakati kedua belah pihak, maka kreditur berhak mengajukan Permohonan Pembatalan Perdamaian PKPU tersebut ke Pengadilan Niaga sesuai dengan Pasal 291 Undang Undang tentang Kepailitan. Seandainya Pengadilan menerima permohonan pembatalan Perdamaian PKPU tersebut maka First Travel dinyatakan pailit dan diangkatlah Hakim Pengawas dan Kurator untuk mengurus dan membereskan harta harta First Travel. Dengan terjadinya Kepailitan maka berlaku lah Sita Umum atas semua asset milik First Travel (tidak termasuk asset pemilik First Travel, kecual pemiliknya juga ikut di nyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga). Sita Umum dalam Putusan Kepailitan akan berhadapan dengan Sita Pidana dalam Putusa kasus pidana yang tersebut diatas.
Konsekwensi hukum lain dari terjadinya Kepailitan adalah Kurator mengambil alih semua kewenangan Debitur Pailit (First Travel), termasuk mengeksekusi ataupun menjual seluruh asset dan nantinya di bagikan kepada para kreditur sesuai urutan peringkat kreditur (struktur kreditur), mulai dari kreditur preferen, kreditur pemegang agunan (jaminan kebendan) dan kreditur konkuren.
Pasal 33 Undang Undang No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan melarang proses eksekusi yang sedang berjalan dilanjutkan oleh Kreditur, yang bisa melanjutkan hanya Kurator dengan izin Hakim Pengawas. Pertanyaan adalah Seandainya First Travel dinyatakan pailit apakah Jaksa bisa melaksanakan eksekusi asset? Karena dalam rezim Kepailitan, hanya kurator yang berwenang melakukan eksekusi, dan tentunya kreditur separatis juga berhak tetapi dengan batasan-batasan tertentu sesuai UU Kepailitan .
Studi Kasus ini menarik untuk diangkat menjadi bahan seminar agar masyarakat Hukum pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya mendapatkan Pencerahan Hukum yang bisa digunakan untuk mencari keadilan diwilayah Hukum negara kesatuan Republik Indonesia, Astungkara!
Salam Rahayu