Oleh Putu Suasta
TELAH lama Denpasar dicanangkan sebagai kota berwawasan budaya. Kalau tak salah ingat, pencanangan itu mulai gencar dihembuskan pada masa pemerintahan Anak Agung Ngurah Gede Puspayoga menjadi walikota Denpasar (1999-2005). Saya bersama beberapa kawan juga turut menyumbangkan gagasan dan pemikiran tentang Denpasar sebagai kota budaya. Semua gagasan dan pemikiran itu kemudian ditindaklanjuti oleh jajaran pemerintahan kota Denpasar.
Mengapa Denpasar pantas dan harus menjadi kota berwawasan budaya? Jika melihat dari latar belakang Denpasar, kota ini bukanlah kota yang ahistori. Denpasar adalah salah satu pemegang kunci sejarah Bali, baik sebelum Belanda menduduki Bali maupun sesudahnya. Selain itu, peninggalan sejarah, kekentalan seni budaya dan tata pergaulan masih dapat dilacak jejak historinya. Sejumlah keluarga sebagai pesaksi sejarah kini masih hidup di beberapa kawasan di Denpasar.
Kedudukan Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali juga menjadi bagian alasan kultural untuk menempatkan posisi Denpasar sebagai kota budaya. Apalagi Denpasar, bersama Medan dan Makasar akan dijadikan kota metropolitan baru di mana tata ruang tiga kotra ini telah masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Perpres 45/2011). Karena itu, Denpasar harus menempatkan dirinya sebagai kota dengan kekhasan yang bisa ditawarkan sebagai keunggulan kota kultural.
Sebagai kota budaya, Denpasar memiliki ‘modal’ yang lebih dari memadai untuk melangkah dan menempatkan dirinya sebagai kota budaya. Modal yang dimaksud adalah kekayaan sejarah. Denpasar, di masa lalu, adalah bagian dari sejarah besar dari Kerajaan Badung yang menjadi lalu-lintas pergaulan antarraja di Bali, yang menjadi transit perdagangan yang sangat penting dengan dua pelabuhan yang dimilikinya, yakni Sanur dan Kuta, serta tata kehidupan adat yang terjaga.
Dalam jiwa keksatriaan, Denpasar juga menjadi saksi sejarah berdarah dengan bergolaknya Perang Puputan Badung. Perang yang sangat fenomenal dan menjadi perang yang sangat penting dalam rentetan perang yang terjadi di wilayah Nusantara ini. Ada dua hal yang dicatat dalam Perang Puputan Badung, yakni secara moral ialah keberanian menyongsong kematian dengan kesatria; secara patriotisme ialah keperkasaan mempertahankan tanah tumpah darah dari orang asing.
Pascaperang Puputan Badung, Denpasar masih memperlihatkan daya pesonanya sebagai sebuah tempat dengan berbagai kepentingan; turisme, perdagangan, pesona pantai (Sanur), tradisi yang tetap terjaga kemurniannya, penciptaan kesenian yang tiada duanya dan tiada sanggup menandingi dari negara mana pun. Denpasar pascaperang dan sebelum masa kemerdekaan adalah pusat lalu lintas pergaulan internasional dengan kedatangan orang-orang penting dari berbagai belahan dunia.
Dalam bentuk fisik, sejumlah bangunan berupa pura kuno, keberadaan prasasti, sisa-sisa puri (kerajaan), bagian-bagian wilayah (pasar, pusat kota, pemukiman etnik di luar orang Bali, beberapa bale banjar yang mempertahankan keasliannya) masih bisa dikedepankan sebagai bagian dari latar budaya yang dikedepankan sebagai warisan sejarah (heritage). Inilah kekayaan Denpasar yang menjadi dasar kuat untuk menempatkan dirinya sebagai kota berwawasan budaya.
Hingga sejauh ini, kesadaran masyarakat Bali umumnya dan masyarakat Denpasar khususnya memiliki perhatian yang serius tentang budaya dan tradisinya. Sejauh yang terlihat, masyarakat Bali masih berteguh menjaga apa yang telah mereka warisi dan melanjutkannya kepada generasi berikutnya. Karena Denpasar sangat pantas menjadi representasi Bali di garda depan budayanya.
ADA sejumlah hal fisik yang bisa ditandai sebagai progresivitas Pemkot Denpasar dalam mewujudkan Denpasar sebagai kota budaya. Hal itu terlihat pada penataan taman-taman kota, seperti terlihat pada Taman kota Puputan Badung dan Lumintang; penataan sungai Tukad Badung yang konon diilhami sungai-sungai di Korea; memanfaatkan sisa-sisa ruang publik untuk menjadi taman-taman kecil atau ruang bermain anak-anak. Pelayanan administrasi publik juga sudah berjalan dengan baik, modern dan serbakomputer.
Dalam momentum tertentu, seperti perayaan hari jadi Kota Denpasar, saat penutup akhir tahun, misalnya, pemkot memfasilitasi berbagai kegiatan yang melibatkan warganya. Ada kegiatan seni budaya dengan menutup separuh Jalan Gajah Mada (sejak setahun lalu dipindahkan sekitar Jalan Veteran dan taman kota Puputan), mendirikan stand-stand untuk berbagai hasil kerajinan dan warung-warungkuliner. Pertunjukan seni budaya juga diberi ruang selapang-lapangnya di area tertentu dengan mengangkat hasil karya warga kota.
Namun sebagai kota berwawasan budaya, Denpasar seharusnya tak berhenti pada event-event tahunan yang sejujurnya masih dalam skala kecil. Memang tak salah memberi ruang kepada warga kota dan menyajikan hiburan. Namun begitu banyak yang harus diberi perhatian yang lebih serius dan berdampak bukan saja kepada kota Denpasar, namun pula bagaimana mengondisikan Denpasar sungguh-sungguh menawarkan kekentalan budaya. Saat mencanangkan kota Denpasar sebagai kota berwawasan budaya, maka keseharian kota sepenuhnya harus beraroma budaya.
Karena budaya bukan sekadar perayaan ulang tahun dan tutup tahun. Budaya ialah realisasi perwujudan akal budi dan adab umat manusia yang dengan itu menuntun dan mencapai achievement dan keunggulan manusia. Budayalah sesungguhnya entitas diri manusia. Pengertian inilah sesungguhnya dengan serius harus ‘diterjemahkan’ setiap hari oleh pemkot dengan melibatkan warga yang talented, para ahli, budayawan, seniman, pemikir dan penggiat lembaga swadaya masyarakat. Mereka para warga yang berkeahlian itulah mitra paling penting dalam pembangunan kota Denpasar berwawasan budaya.
Padahal potensi Denpasar untuk menjadikan dirinya sebagai kota budaya demikian besar. Denpasar ialah kota yang sangat historical, kultur yang terjaga dan masyarakat yang begitu patuh dan setia mengusung warisan tradisinya. Pemkot tak lagi mengalami kesulitan untuk menempatkan Denpasar sebagai kota dengan kekentalan budaya andai dengan serius, terus-menerus mengeksekusi konsepsi yang telah menjadi platform yang telah dibuat di masa lalu, Andai juga bersedia melibatkan para warganya yang berkeahlian di berbagai bidang untuk membangun bersama kota budaya.
Salah satu yang begitu potensial dari Denpasar ialah program city tour. Ada cukup peninggalan-peninggalan sejarah, keunikan arsitektur sejumlah bangunan seperti pura kuno, bekas-bekas beberapa puri (kerajaan), rumah-rumah yang masih menerapkan arsitektur Bali, bangunan banjar-banjar yang masih mempertahankan keasliannya dan beberapa yang lain. Meski beberapa bangunan tak lagi menawarkan keasliannya seperti puri (kerajaan), namun hal itu tak menjadi masalah. Karena secara de facto tempat-tempat yang dituju itu adalah tempat-tempat yang memang bernilai sejarah. Tinggal kemudian bagaimana narasi historis dibuat berdasarkan nilai dan fakta sejarahnya.
Karena yang dimiliki Denpasar ialah sejarah. Dan itu harus dirawat dengan narasi. Ada banyak peninggalan yang tak utuh sepenuhnya, tapi narasi sejarah yang akan ‘mengutuhkannya’. Selebihnya ialah restorasi peninggalan-peninggalan yang dianggap sangat monumental, menambah koleksi Museum Bali dengan semua hal yang menguatkan sejarah keberadaan kota Denpasar, menyokong aktivitas intelektual dan budaya dalam berbagai bentuknya. Inilah sebagian hal paling nyata yang harus dibangun terus-menerus oleh Pemkot untuk melekatkan dirinya sebagai kota berwawasan budaya.
Namun nampaknya program city tour yang pernah diwacanakan ke publik tak begitu berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sehingga tempat-tempat bersejarah seperti Puri Denpasar, Puri Pemecutan, Puri Kesiman, peninggalan heritage seperti Pura Maospahit, lokasi prasasti Blanjong yang menerangkan sejarah Bali dan dan Kerajaan Badung di Sanur, Museum Bali dan Museum Le Mayeur yang kurang represntatif sebagai museum, Banjar Belaluan yang menjadi gudang seniman, Bali Hotel yang kental dengan sejarah dan beberapa lagi tempat yang layak menjadi sasaran city tour akhirnya tak bisa diberdayakan, dioptimalkan.
Kebanyakan negara di dunia menempatkan city tour sebagai salah satu bagian utama dalam mengedepankan eksistensi negaranya. Lihatlah Laos yang berhasil mengedepankan sejumlah heretage-nya kepada warga dunia yang mengunjungi bangunan kunonya di Luang Prabang dan sejumlah kekhasan budayanya. Atau Kamboja dengan menjagokan candi Angkor Watt di Siem Reap, di India dengan candi Jaipur di Banares. Dan jangan kata di Eropa yang peninggalan heretage-nya kebanyakan benar-benar masih utuh. Bahkan Amerika malah menjadikan markas FBI/CIA sebagai bagian dari city tour.
POTENSI besar Denpasar agaknya belum sepenuhnya diberdayakan. Masih banyak waktu untuk mengevaluasi kembali guna menguatkan citra Denpasar sebagai kota berwawasan budaya; masih ada banyak orang-orang yang pasti akan suka rela menyumbangkan gagasan dan tenaganya berpartisipasi dalam pembangunan Denpasar; dan ada cukup banyak potensi-potensi histori dan kultural yang bisa dikedepankan sebagai penguat citra kota budaya. Karena bagaimana pun harus diakui, Pemkot memiliki keterbatasan untuk sendirian membangun hal besar bagi kota yang dikelolanya.
Namun apakah Pemkot memiliki keterbukaan dan kerendahan hati untuk mengevaluasi kembali program yang selama ini telah berjalan, yang sedang direncanakan dan dibangun dan yang luput dari program besarnya, itulah persoalannya.
Pembangunan yang menyasar hal-hal besar tentu membutuhkan pemikiran besar, melibatkan banyak sumber daya manusia yang talented, membutuhkan waktu, dan yang paling penting; keseriusan, intens dan good will yang implementasinya nyata.
Alih-alih membangun hal baru, mempertimbangkan kembali dan mengoptimalkan manfaat aset historik yang telah menjadi warisan lebih penting diberdayakan. Museum, puri, pura kuno, beberapa kawasan bersejarah, peninggalan benda-benda purbakala, peristiwa-peristiwa (seperti Perang Puputan Badung), adalah sebagian dari aset yang membutuhkan pemikiran besar untuk ‘dihidupkan kembali’ sebagai kekayaan historik dan kultural.
Denpasar harus menandai dirinya dengan kekayaannya itu karena Denpasar sesungguhnya adalah kaya dengan sejarah dan karena itu pula memudahkan kota ini mewujudkan dirinya sebagai kota sejarah dan kota berwawasan budaya.
Harus diingat bahwa Denpasar adalah ibu kota Provinsi Bali dan karena itu ia menjadi ‘garda depan’ bagi representasi Bali sebagai wilayah budaya’, Dapatkah Denpasar mencerminkan representasi itu pada dirinya selain ia sendiri tak kalah beratnya mengusung tema besar menuju kota budaya? Secara formalitas, pertanyaan ini mengusik Pemkot Denpasar, namun dalam jangkauan yang lebih luas, pertanyaan itu adalah PR besar bagi warga Denpasar khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya. Maka, hello, Denpasar? Bagaimana?