by:
Prof. IPutu Sudiarsa Boy Arsa, Ph.D
Ketua Umum Dewan Pembina Yayasan *Arsa Laksana Indonesia* ( _AsLI_ ).
Corak kehidupan para Budiman yang ada di Bali sejak 1.500 M mengalami perubahan tepatnya semenjak kehadiran *Pedanda Sakti Wawu Rauh* (Dhang Hyang Nirarta) Ke Bali. Berbagai sumber mengatakan Dang Hyang Nirarta adalah pengikut Paham Siva dan mulai menyebarkan ajaran Siva yang dimulai dari Bali bagian barat sampai ke kepulauan Nusa Tenggara. Dengan demikian corak Hindu di Bali Nusra otomatis kebanyakan bercorak Sivaistis dan sejak saat itu ajaran Siva ini tumbuh dengan subur di Bali dan Nusa Tenggara. Bahkan sampai saat ini sebagian besar umat Hindu di Bali dan di Nusa Tenggara mengidentikkan diri sebagai penganut ajaran Hindu Siva Sidhanta.
Kata “ *Siddhanta* ” dapat diartikan sebagai “kesimpulan akhir”, sehingga secara harfiah arti kata Siva Siddhanta adalah Siva sebagai kesimpulan akhir. Atau dengan kata lain menempatkan Siva sebagai kesimpulan dan tujuan tertinggi.
Di India Paham Siva Siddhanta berkembang subur di daerah suku Tamil di India Selatan dan juga di kawasan Kasmir. Menurut teologi Siva Siddhanta, Tuhan, Jiva dan benda-benda di alam semesta ini adalah nyata. Secara terminologis ajaran Siva menyebut Tuhan sebagai “ *Pati”* , sedangkan Jiva disebut “ *Pasu”* dan benda-benda di alam material disebut “ *Pasa* ”. Dari ketiga istilah ini penganut ajaran Siva menganggap bahwa *Pati-* adalah yang paling tinggi dan dipuja dengan sebutan Siva atau Hara. Siva dianggap sebagai sumber dari Trimurti (Brahma, Visnu dan Rudra). Selain itu juga Siva disebut sebagai Iswara dan Maheswara. Dalam ritual keagamaan penganut ajaran Siva selalu melaksanakan persembahan kepada dewa Siva yang terkonsentasi pada *Siva Lingam* .
Namun kalau ditelusuri dan difahami lebih mendalam corak keagamaan di Bali tidaklah sama dengan paham Siva Sidhanta aslinya yang ada di India. Bahkan kalau diambil benang merahnya konsep Siva Sidhanta di India dan di Bali tidaklah sama, penomena ini bisa ditelusuri dengan adanya buku buku yang isinya membedakan ajaran Siva Sidhanta di India dengan yang ada di Bali.
Pondasi dasar keberadaan budaya dan keagamaan di Bali pada dasarnya tidak lepas dari jasa Mpu Kuturan dan adiknya Mpu Bradah. Ketika itu, atas ijin dari Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, Mpu Kuturan melakukan Pesamuan Agung (rapat akbar) dengan mengambil tempat di Bataanyar (kini Gianyar). Saat itu ada 1370 desa di seluruh Bali yang ikut dalam Pesamuan Agung ini. Pada saat pesamuan agung itu diundanglah tokoh-tokoh dari masing-masing keyakinan.
Empu kuturan selain selaku ketua majelis Pakira-kira Ijro Makabehan juga sebagai pemimpin Pesamuhan Agung.
Saat Pesamuan Agung itu dilaksanakan hadir para tokoh atau pimpinan orang-orang Bali Age dan beberapa paksa/keyakinan berbagai ajaran sampradaya, dijadikan satu kelompok sehingga jumlahnya paling banyak. Dilain pihak
Tokoh-tokoh dan pimpinan Agama Siwa didatangkan dari Jawa dijadikan kelompok tersendiri.
Dengan keluhuran pengetahuan dan kemampuannya sebagai seorang guru suci, Mpu Kuturan berhasil dan sukses menghantarkan Pesamuan Agung mencapai kesepakatan bulat yang meliputi;
Pemujaan kepada Brahma, Visnu dan Siva dijadikan dasar keagamaan di Bali.
Dijadikan perubahan terhadap organisasi kemasyarakatan, dengan wadah yang disebut Desa Pekraman, untuk itu didirikan tiga pura yang disebut pura Khayangan Tiga, yaitu:
(a) pura puseh yang terletak di Utama Mandala sebagai tempat suci untuk memuliakan Sri Wisnu;
(b) pura bale agung atau pura desa yang terletak di Madya Mandala sebagai tempat suci untuk memuliakan Dewa Brahma;
(c) pura dalem atau pura hulu setra sebagai tempat suci untuk memuja Siva.
(d) Pada setiap rumah tangga di wajibkan mendirikan sebuah pelinggih berbentuk Rong Tiga (Rong Telu), sebagai tempat memuliakan dan memuja roh suci para leluhur dan Sanghyang Widhi Wasa. Sebutan lain dari rong tiga adalah kemulan yang terdapat dalam setiap sanggah atau merajan.
(e) Semua tanah pekarangan dan tanah yang terletak di desa pakraman dan pura khayangan tiga adalah milik desa pakraman yang juga berarti milik kayangan tiga, oleh sebab itu, tanah-tanah ini tidak boleh dijual – belikan.
(f) Didirikan tempat suci di sawah, yang disungsung oleh krama subak, yang merupakan sistem sosial religius dalam bidang perekonomian.
Uniknya, ternyata konsep yang disepakati Salam acara Pesamuhan Agung itu sangat sesuai dengan ajaran Veda dan memperlihatkan corak ajaran *Penyembah Agung Tuhan.*
Pada Khayangan Tiga sangat tepat jika Visnu diletakkan pada bagian Utama Mandala, dan berikutnya Brahma yang tercipta dari pusar Sri Visnu diletakkan di Madya Mandala. Sementara itu Siva yang merupakan perwujudan Visnu yang sama dan sekaligus berbeda, yang dalam istilah konsep Guna Avatara dikatakan sebagai pengendali sifat Tamas dan senantiasa melumuri badannya dengan abu mayat diletakkan di dekat Setra atau kuburan. Begitu juga dengan sistem desa Pekraman adalah perwujudan dari sistem Pasraman atau sistem Guru Kula yaitu sistem pendidikan tradisional dalam Veda yang ingin ditanamkan oleh Mpu Kuturan sebagai penyembang Agung Tuhan di Bali.
Dari segi karya sastra lontar, kekawin dan pewayangan yang meresap dalam sanubari masyarakat, ternyata hampir semuanya dijiwai oleh kitab Itihasa (Ramayana dan Mahabharata). Dalam setiap gubahan lontar yang diturunkan dari kitab Ramayana, semua penulis menitik beratkan kepada Rama sebagai yang tertinggi. Demikian juga untuk lontar yang digubah dari kitab Mahabharata selalu menempatkan Krishna sebagai yang tertinggi. Tanpa Rama, maka Hanuman, Sugriwa dan Subali tidak akan ada artinya. Tanpa Krishna, apa yang dapat dilakukan oleh Panca Pandawa? Pemujaan kepada Sri Narayana juga ternyata menjadi objek yang tertinggi. Hal ini dibuktikan dengan dijadikannya Narayana Upanisad sebagai pondasi dasar keyakinan Hindu di Bali. Bahkan tidak tanggung-tanggung gubahan Narayana Upanisad disebut sebagai Catur Veda Sirah (kepala/inti sari Catur Veda). Hal ini diterangkan dengan kalimat: etad Rg Veda siro ‘dhite (demikianlah inti sari dari Rg. Veda); etad Sama Veda siro ‘dhite (demikianlah inti sari dari Sama Veda) etad Yajur Veda siro ‘dhite (demikianlah inti sari dari Yajur Veda); etad Atharva Veda siro ‘dhite (demikianlah inti sari dari Atharva Veda). Dalam kitab Catur Veda Sirah ini dijelaskan bahwa segala sesuatu berasal dari Narayana. Bahkan pemimpin para dewa seperti Brahma, Siva dan Rudra-pun lahir dari Narayana. Narayana sendiri menurut Visnusahasranama (1000 nama suci Sri Visnu) sebagaiman tercantum dalam kitab Padma Purana dan juga Mahabharata Anushāsanaparva 149 adalah nama lain dari Sri Visnu, Krishna, Rama yang merupakan sebutan Tuhan dalam konsep Penyembah Agung Tuhan.
Melihat kenyataan ini, lalu kenapa Mpu Kuturan menanamkan konsep Penyembah Suci Tuhan di Bali, sementara selama ini Mpu Kuturan sering dikatakan penganut Buddha?
Mpu Kuturan adalah Putra pertama dari Rsi Visnu Sunya Murti sedangkan adiknya Mpu Kuturan dari Orang tua yang sama adalah Mpu Bradah . Kedua orang suci ini sangat penting peranannya dalam penanaman pondasi budaya Bali.
Mengenai riwayat mereka ini, salah satu lontar suci mengisahkan:
“Mangke wuwusen hana Rsi Bhujangga Vaisnava putus, ngaran Hyang Rsi Visnu Sunya Murti sira ia adi manggala sembahen, apan sira wisesa mahotama. Sira ta angamet stri listuayu paripurna ingaranan Dewi Indrakarana. Wus lama sira apulang lulut, tumuli sira aputra laki-laki karwa, kang panuha apanelah Sira Mpu Kuturan mwang sang anten apenengeran sira Mpu Bhradah. Kadi kramanira sang yayah Sira ta Hyang Visnu Sunya Murti, asung nugraha ri sutanira panuha, aji utama, kaputusaning kabhujanggan, nging sira Mpu Bhradah lunga maring Kadiri I Bhumi Jawa.”
“Sekarang diceritakan seorang Rsi Penyembah Agung Tuhan, nama Beliau Hyang Rsi Visnu Sunya Murti. Beliau yang patut pertama-tama disembah, karena amat kuasa dan maha utama. Beliau mengambil istri bernama Dewi Indrakarana. Setelah beberapa lama berumah tangga, berputralah beliau dua orang, yang pertama diberi nama Mpu Kuturan dan adiknya Mpu Bhradah. Hyang Rsi Visnu Sunya Murti berkaruani kepada putranya yang lebih tua dengan memberikan pengetahuan utama ajaran Menyembah Tuhan. Sedangkan mpu Bhradah pergi ke Kediri di pulau Jawa.”
Mpu Bhradah cenderung melaksanakan Penyembahan Agung kepada Tuhan dengan menyembah Sri Visnu dalam aspek AvataraNya sebagai Buddha. Namun demikian, bukan berarti Mpu Bhradah adalah pengikut Agama Buddha seperti yang ada saat ini. Beliau adalah Penyembah Agung Tuhan sejati. Hal ini dibuktikan ketika wafatnya Ratu Gunapriya Dharma Patni. Saat itu Mpu Bhradah sengaja datang ke Bali menghaturkan bhaktinya sesuai dengan isi prasasti berangka tahun 929 bertanda Cakra Sudarsana (Cakra Sri Visnu dan ciri khas seorang Penyembah Agung Tuhan). Dikatakan juga dalam prasasti yang tersimpan di Pura Batumadeg tempat memuja Visnu ini bahwa Mpu Bhradah menetap dan bersemedi di pura ini. Hal ini memperkuat bahwa Mpu Bhradah adalah seorang Penyembah Agung Tuhan.
Mpu Kuturan sendiri menegaskan konsep ajaran Menyembah Suci Tuhan dengan mengatakan bahwa seorang Rsi Penyembah Agung Tuhan adalah guru dari para guru yang berhak memberikan pelajaran karena ia seolah-oleh adalah putra Bhatara Guru.
“Rsi Penyembah Agung Tuhan wenang ngamertanin kala bhuta, apan ida Rsi Penyembah Agung Tuhan guruning guru. Ida wenang guru-maguru, dening ida anak bhatara guru wenang maguru-guru nga, Ika ta don nira tan tekeng cuntaka dening wang kuwu kabeh”.
Pernyataan Mpu Kuturan ini ternyata bukan sekedar ajaran yang disampikan demi tujuan politik, apa lagi untuk kepentingan diri sendiri. Fakta mengatakan bahwa seorang *Penyembah Agung Tuhan* sesungguhnya memiliki posisi paling mulia juga disampiakan dalam wejangan Mpu Kidul tertanggal tahun 959 Saka yang mengatakan:
“Yan hana letuhing kedaton, Bale Agung mwah sawah, wenang Sang Guru Bhujangga amretista, apa sira Sang Bhujangga Waisnawa kasungan geni Saracinara, Purwabhumi Twa, Gelar Siwaga Waisnawalingga genisara, aregep dening sanjatanira, sakwehing letuhing rat kasudha de nira kabeh, lingganira ring Batur. Sira Sang Bhujangga Waisnawa batukeneng cuntaka, apan sira mraga suku mwah cecek, wenang nyiwa Budha”.
Pernyataan ini menegaskan bahwa hendaknya hanya seorang *Budiman Penyembah Agung Tuhan* yang mampu membersihkan dan menyelamatkan dunia dari segala kekotoran. Selain gegelaran Budiman *Penyembah Agung Tuhan* seperti Gni Saracinara, Purwabhumi Twa, dan lain-lain, juga beliau ayomi bhumi dari mala yang mengotori dengan Sangkha, Katipluk, Genta Urag, Bhajra Padma, Bajra Uter dan lain-lain.
Seperti umum telah diketahui, pada masa pemerintahan raja-raja di Bali, Kakak Mpu Bhradah yaitu Mpu Kuturan memegang peranan sangat penting dalam kedudukannya sebagai purohita atau penasehat raja. Sehingga nama Kuturan atau Senapati Kuturan pernah dipakai gelar untuk para Manggala Kerajaan yang diangkat sebagai penasehat raja. Beberapa contoh penggunaan gelar Kuturan ini adalah para masa pemerintahan Aji Sri Dharmawangsa Wardana Marakata Pangkaja Sthana Uttungga Dewa pada tahun 944 Saka (1022 Masehi) mengangkat Guru Penyembah Agung Tuhan Mapanji *Putu-putu* sebagai Senapati Kuturan. Demikian juga pada masa kekuasaan Ratu Sri Sakal Indukirana Isana Guna Dharma Laksmi Dhara Wijaya Utungga Dewi tahun 1020 Saka (1098 Masehi) mengangkat Guru *Budiman Penyembah Agung Tuhan* bernama Mpu Antuk sebagai Senapati Kuturan. Pengangkatan para *Penyembang Agung Tuhan* sebagai purohito kerajaan ini berlangsung turun temurun sampai pada masa pemerintahan Raja *Penyembah Agung Tuhan* terkenal, yaitu Sri Aji Jaya Pangus Arkajalancana yang mengangkap Mpu Angdon Amenang.
“Titanen ri saka 1103, hana Dalem I Bali Dwipa Mandala, tos Waisnawa, abhiseka Sri Aji Jayapangus Arkajalancana. Arkajalancana ngaran, tos Arka. Arka ngaran Surya Wangsa ngaran Hari Wangsa. Hari Wangsa ngaran Wisnu Wangsa, yata Waisnava ngarannya.”
“Tersebut dalam Saka 1103, seorang raja di Pulau Bali keturunan *Penyembah Agung Tuhan,* bergelar Sri Aji Jaya Pangus Arkajalancana, Arkaja berarti keturunan Arka. Arka berarti keturunan Surya Wangsa, Surya Wangsa berarti Hari Wangsa, Hari Wangsa berarti Visnu Wangsa. Itulah yang disebut *Penyembah Agung Tuhan”*
Keagungan Jaya Pangus sebagai raja *Penyembah Agung Tuhan* juga tertuang dalam Bhuwana Tattva Maharsi Markandeya; “Palgunamasa, titi pancami sukla paksa, tungleh, wage, wrehaspati waraning Julungpujut, irika dewasaning Sri Maharaja Aji Jayapangus Mur angungsi Wisnu loka.
Dengan demikian, sudah sangat jelas bahwa *Mpu Kuturan* dan adiknya *Mpu Bradah* adalah seorang *Penyembah Agung Tuhan* dan karenanya sebenarnya Bali yang ada saat ini dibangun di atas pondasi *Penyembah Agung Tuhan* meskipun diwarnai dengan berbagai ajaran masab yang lainnya. Hanya karena Pondasi *Penyembah Agung Tuhan* dan akulturasi indah karya agung Mpu Kuturan lah yang membawa Bali menjadi seperti saat ini.
Om ajnana-timirandhasya jnananjana-salakaya caksur unmilitam yena.
_Salam Rahayu_