JAKARTA, Matakompas.com-Fenomena banjir seringkali menjadi masalah terutama dimusim penghujan ini, namun yang menjadi masalah besar bila yang yang menjadi banjirnya itu merupakan tindak pidana korupsi, mendengar korupsinya saja sudah menyeramkan apalagi sampai disebut banjir, tidak seperti banjir yang menghancurkan rumah, namun banjir korupsi ini bisa menghancurkan negara, Penulis sendiri mengatakannya sebagai banjir bukan tanpa data, menurut laporan transparency international, jika melihat data yang ada pada skor Corruption Preception Index atau CPI di tahun 2020 Indonesia menujukan penurunan yang signifikan sepanjang 8 tahun kebelakang dari yang asalnya skor 40 menjadi 37, tentu ini bukan menjadi prestasi namun menimbulkan sebuah masalah, bila dilihat dari kasus tersebut terjadi kemunduran dari bidang ekonomi, dan untuk dibidang hukum mengalami nilai yang tetap. Turunnya skor CPI 2020 disebabkan oleh menurunnya sebagian besar indikator penyusun yang menurun tajam, dimana lima diantaranya turun secara signifikan, sedangkan tiga lainnya berada pada posisi yang stagnan dan hanya satu saja yang mengalami kenaikan, meskipun tidak memberikan efek yang bisa mendongkrak nilai agregat CPI (Suyatmiko, 2020).
Ada faktor lain yang membuat di Indonesia dilanda banjir korupsi yakni perilaku korupsi di bidang birokrasi banyak berkembang di negara bekas jajahan (Gerald E. CAIDEN, 1973) dan hal itu tidak bisa dipungkiri Indonesia merupakan negara bekas jajahan, sehingga fenomena banjir korupsi ini sudah mengakar sejak dahulu. Tindakan korupsi dapat diklasifikasikan dalam berbagai kategori : birokrasi atau politik, pengurangan biaya (untuk penyuap) atau peningkatan keuntungan, diprakarsai penyuapan atau diprakarsai penyuapan, koersif atau kolusi, terpusat atau terdesentralisasi, dapat diprediksi atau sewenang-wenang, melibatkan pembayaran tunai atau tidak.(TANZI, 1998), dari sana sangatlah banyak jenis-jenis korupsi yang ada. Secara epistemologi, jenis korupsi yang acapkali ditemukan dalam lingkungan pemerintahan entah itu di pusat atau daerah adalah korupsi yang berkaitan dengan pelayanan publik (Satria, 2020).Selain itu ada permasalahan lainnya, penelitian internasional menunjukkan bahwa upaya resmi untuk memberantas korupsi hanya efektif sebagai bagian dari kampanye terkoordinasi untuk mereformasi administrasi, pembuatan kebijakan, lembaga legislatif dan yudikatif (Sherlock, 2002). Oleh karenanya Harus ada solusi permasalahan lainnya walaupun ada penelitian yang bilang bahwa ada intervensi pemerintah yang menyebabkan korupsi (Robertson-Snape, 1999), Namun itu bukan alasan untuk bisa mencegah datangnya banjir korupsi.
Taruna dapat diartikan sebagai pemuda yang menjalani pendidikan yang kelak akan menjadi pemimpin di negaranya, menjawab sebuah penelitian yang mengatakan regulasi yang berlaku saat ini sudah tidak relevan dengan kondisi sebenarnya di lapangan, tidak adanya kriteria baku pendirian pendidikan tinggi vokasi (Wijayanti & Selawati, 2019) maka banyaklah perguruan tinggi kedinasan di indonesia yang mencetak perwira, tidak hanya ada di instansi TNI dan Polri namun diberbagai instansi pemerintahan pun ada, salah satunya yang berada dibawah naungan Kementrian hukum dan ham ada politeknik ilmu pemasyarakatan, yang tujuannya jelas sebagai generasi penerus di pemasyarakatan, taruna bukan hanya menjalankan pendidikan berupa pengajaran, namun ada pelatihan dan pembinaan yang kelak nanti akan di terapkan dilapangan dan memiliki integritas dan profesionalitas dalam bekerja, sebagai perguruan tinggi yang berbasis ilmu terapan, dalam proses pendidikannya taruna senantiasa diberikan pengetahuan mengenai pendidikan anti korupsi dan juga pembiasaannya sehingga kelak mereka akan bisa mencegah terjadinya banjir korupsi. Perlu di ingat salah satu hal penting dalam pendidikan antikorupsi yakni pembangunan kultur (Ocheje, 2017), sehingga sangatlah penting penanaman kultur sejak pendidikan taruna.
Lulusan taruna poltekip nanti akan ditempatkan di unit pelayanan teknis yang tersebar diseluruh Indonesia, baik ada yang di Rutan, Lapas, LPKA, LPP, Bapas ataupun rupbasan, mereka akan menjadi pedoman bagi petugas lainnya, tidak jarang dari mereka baru beberapa bulan di UPT sudah diamanahkan sebuah jabatan, dan nantinya mereka akan diberikan jabatan strategis di kemenkumham khusunya di pemasyarakatan, disinilah tantangan sebenarnya akan dimulai, akan ada banyak banjir yang berusaha menghanyutkan pada tindak pidana korupsi, rata-rata yang terjadi di UPT berada di bagian pelayanan WBP dan pelayanan publik, oleh karenanya dibutuhkan pembiasaan agar bisa dengan bijak menghadapi masalah yang ada.
Penulis menawarkan solusi agar taruna bisa berkontribusi dalam pencegahan korupsi dibutuhkan pembiasaan, pembiasaan ini ditanam pada saat pendidikan setidaknya dalam kehidupan sehari-hari, salah-satu strateginya yakni dengan metode pemberian penghargaan dan juga hukuman atas segala tindakannya tentunya mengacu pada peraturan kehidupan taruna dan norma yang berlaku dimasyarakat, hal ini dilihat melalui penelitian yang menggunakan pendekatan teori yang melihat pola pikir dan jati diri seorang individu akan bergantung dari lingkungan masyarakat (Ritzer, 1990). Pemberian keduanya harus berjalan beriringan, dengan dibuatnya prosedur tetap tentang penghargaan maka akan membuat stimulan untuk para taruna, Dengan memberikan sebuah penghargaan akan tertanam semangat anti korupsi (Praise Juinta W. S. Siregar, 2020)
Bagi seorang taruna tidaklah sulit untuk mengimplemantasikan penghargaan dalam kehidupannya, setdiaknya disini penulis akan menggunakan sebuah rumus yang dipopulerkan oleh KH. Abdullah Gymnastiyar atau yang ering disapa AA Gym, beliau menjelaskan disaat akan melakukan perubahan setidaknya dengan satu rumus inti, rumus itu adalah 3M, M yang pertama yakni mulailah dari diri sendiri, dalam hal ini Taruna membiasakan diri untuk menghargai dirinya sendiri dengan cara menjaga selalu kondisi Jiwa dan raganya, untuk menjaga kondisi jiwanya, taruna perlu memenuhi haknya untuk menghadap kepada yang Maha Kuasa, dengan cara beribadah sesuai kepercayaannya dengan baik dan benar, jangan sampai timbul permasalahan hati, dari masalah hati ini bila tidak baik maka akan timbul penyakit tidak takutnya seseorang pada Tuhan, sehingga dengan santai melakukan kejahatan salah-satunya itu korupsi, hati nuraninya tidak di hargai lagi, sehingga berbuat perbuatan keji, hal ini telah diteliti bahwa “Semakin tinggi tingkat ketaatan beragama seorang pegawai, maka akan semakin rendah tingkat perilaku korupsi. Sebaliknya, semakin rendah tingkat ketaatan beragama pegawai, maka akan semakin tinggi tingkat perilaku korups” (Wahyudi, 2016). lalu untuk menghargai raganya taruna perlu seimbang antara istirahat dan olahraga juga perlu menjaga asupan nutrinya, jangan sampai tidak menghargai tubuhnya sehingga tubuh drop sehingga tidak bisa menjalani tugas sebagaimana mestinya. M yang selanjutnya mulai dari hal kecil, hal kecil ini sangatlah mudah di implementasikannya, untuk para senior terutama belajar menghargai juniornya minimal dengan mengucapkan terimakasih selagai mendoakannya, akan lebih baik lagi diberikan hadiah baik berupa Ilmu, pengalaman ataupun barang atau makanan hal ini akan memberikan pengaruh pada saat di UPT nanti sehingga bawahan tidak akan berani melakukan pelanggaran apalagi korupsi karena dia pun menghargai seniornya yang senantiasa baik padanya, dan perlu untuk dipahami. Hal kecil lainnya taruna dapat memahami Standar internasional yang mengatur pencegahan korupsi seperti Manajemen Anti-Penyuapan ISO 37001:2016 dalam rangka mencegah praktik korupsi di sektor pelayanan publik sehingga didapatkan pemahaman yang utuh mengenai standar mekanisme tersebut (Wijaya et al., 2016).
Lalu huruf terakhir dari rumus 3 M yakni, mulai dari saat ini, Wujud dari tindakan antikorupsi adalah adanya aksi terhadap hal-hal yang punya potensi munculnya praktik korupsi (Subkhan, 2019) kita mulai implementasikan bagimana menghormati seseorang dengan hal seperti itu berarti kita telah mencegah terjadinya korupsi, lalu pencegahan tidak akan optimal bila hanya dilakukan oleh pemerintah saja tanpa melibatkan peran serta masyarakat (Suryani, 2015) oleh karenanya taruna pun bisa berperan aktif dalam kegiatan dimasyarakat agar masyarakat bisa memahami bahw aparat negara memiliki kader bangsa yang baik, sebab untuk mencegah korupsi harus dimulai dari masyarkat, sebab warga binaan merupakan salah satu target pencegahan (Ubwarin et al., 2020) dan Taruna harus bisa memberi contoh yang baik kepada masyarakat terlebih dahulu.
Dari penjelasan diatas jelas bahwa sebuah fenomena banjir tidak datang tiba-tiba ada penyebab dari hulunya sehingga di hilir menjadi sebuah banjir, Pada saat pendidikan menentukan laju aliran dari hulu, apa yang Taruna biasakan sekarang akan berdampak untuk kedepannya apalagi taruna memiliki amanah besar kedepannya jangan sampai budaya korupsi menjadi kebiasaan, insyaAllah dengan membiasakan budaya anti korupsi dan melakukan rumus 3M yakni Mulai dari sendiri, Mulai dari hal yang kecil, dan Mulai dari saat ini, Taruna akan mencegah terjadinya korupsi. (Doro )
Referensi :
Gerald E. CAIDEN. (1973). Development, Administrative Capacity and Administrative Reform. International Review of Administrative Sciences, 39(4), 327–344. https://doi.org/10.1177/002085237303900401
Ocheje, P. D. (2017). Norms , law and social change : Nigeria ’ s anti-corruption struggle , 1999 – 2017. 1999–2017.
Praise Juinta W. S. Siregar, N. T. (2020). Implementasi Stimulan Reward and Punishment pada Kurikulum Pendidikan Antikorupsi. Antikorupsi, 6(1), 153–168.
Ritzer, G. (1990). Metatheorizing in Sociology. 5(1), 3–15.
Robertson-Snape, F. (1999). Corruption, collusion and nepotism in Indonesia. Third World Quarterly, 20(3), 589–602. https://doi.org/10.1080/01436599913703
Satria, H. (2020). Kebijakan Kriminal Pencegahan Korupsi Pelayanan Publik. INTEGRITAS: Jurnal Antikorupsi, 6(2), 169–186. https://doi.org/10.32697/integritas.v6i2.660
Sherlock, S. (2002). Combating corruption in Indonesia? The ombudsman and the assets auditing commission. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 38(3), 367–383. https://doi.org/10.1080/00074910215532
Subkhan, E. (2019). Pendidikan Antikorupsi Perspektif Pedagogi Kritis. 6(1), 15–30.
Suryani, I. (2015). PENANAMAN NILAI-NILAI ANTI KORUPSI DI LEMBAGA PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI SEBAGAI UPAYA PREVENTIF PENCEGAHAN KORUPSI. 14(02), 285–301.
Suyatmiko, W. H. (2020). Memaknai Turunnya Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2020. 7(1), 161–178. https://doi.org/10.32697/integritas.v7i1.717
TANZI, V. (1998). Corruption Around the World. 45(4), 559–594.
Ubwarin, E., Hattu, J., & Leatemia, W. (2020). Budaya Hukum Anti Korupsi Pada Warga Binaan Lapas Klas Ii a Ambon. Community …, 1(2), 74–77. https://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/cdj/article/view/706
Wahyudi, R. (2016). Hubungan Perilaku Korupsi dengan Ketaatan Beragama di Kota Pekanbaru. Integritas Jurnal Anti Korupsi, 2(1), 191–214. https://jurnal.kpk.go.id/Dokumen/jurnal-integritas-volume-02-nomor-1-tahun-2016/jurnal-integritas-volume-02-nomor-1-tahun-2016 – 10.pdf
Wijaya, A., Fasa, H., & Sani, S. Y. (2016). Sistem Manajemen Anti-Penyuapan ISO 37001 : 2016 dan Pencegahan Praktik Korupsi di Sektor Pelayanan Publik. 6(2), 187–208. https://doi.org/10.32697/integritas.v6i2.684
Wijayanti, A., & Selawati, B. A. (2019). Perbaikan Kebijakan Tata Kelola Perguruan Tinggi Kedinasan. 6(1), 73–91.