
DENPASAR, Matakompas.com – Suasana rapat paripurna DPRD Provinsi Bali memanas ketika I Kadek Diana, S.H., anggota DPRD Bali dari Fraksi Gerindra asal Gianyar, menyampaikan kritik tajam terhadap fenomena terbitnya sertipikat tanah di kawasan hutan mangrove (Tahura Ngurah Rai).
Menurutnya, praktik ini bukan hanya bentuk pelanggaran hukum, tetapi juga tamparan keras bagi tata kelola pemerintahan dan penegakan aturan di Pulau Dewata.
“Kalau sertipikatnya terbit di kawasan hutan mangrove, ya itu sudah jelas cacat prosedural. Tidak bisa dibenarkan. Sekalipun prosesnya seolah-olah legal, tapi kalau melanggar aturan kawasan hutan, tetap saja tidak sah,” tegas Kadek Diana di hadapan forum paripurna, Rabu, 15 Oktober 2025.
“Cacat Prosedural Tidak Bisa Dilegalkan”
Politisi Gerindra yang dikenal vokal ini menilai, penerbitan sekitar 160 sertipikat tanah di kawasan Tahura Ngurah Rai adalah pelanggaran serius terhadap hukum tata ruang dan kehutanan.
Ia menegaskan, setiap proses penerbitan sertipikat harus melalui serangkaian persetujuan dari instansi teknis di bawah, sebelum sampai ke tahap final di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Kalau di bawah sudah dilanggar, kalau prosesnya cacat, maka hasilnya juga cacat. Sekuat apapun disebut ‘sertipikat sah’, kalau berdiri di atas pelanggaran, ya tetap tidak sah,” sindirnya keras.
Ia menambahkan, kawasan hutan mangrove adalah kawasan lindung yang tidak boleh disertipikatkan atau dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
“Jangan disertipikatkan kawasan lindung! Itu wilayah yang harus dijaga, bukan dikavling. Kalau ketahuan, ya harus dikembalikan dalam bentuk hutan lagi. Jangan dibiarkan jadi bancakan,” ujarnya dengan nada tinggi.
Desak Penegakan Hukum dan Tindakan Tegas
Kadek Diana menegaskan bahwa masalah ini tidak boleh berhenti pada polemik publik atau sekadar menjadi isu viral di media sosial. Ia menuntut kejaksaan dan kepolisian bergerak cepat memproses kasus penerbitan sertipikat di kawasan mangrove tersebut.
“Kalau sertipikatnya cacat, orang-orang yang menerbitkan dan memanfaatkan itu harus diproses hukum. Jangan hanya diam! Ini sudah terekam di ingatan publik. Sudah viral, semua tahu. Jadi jangan sampai hilang begitu saja tanpa tindak lanjut,” tegasnya.
Menurutnya, penegakan hukum di Bali tidak boleh pilih kasih. Siapa pun yang bermain di wilayah konservasi harus dimintai pertanggungjawaban, termasuk pejabat, pengusaha, maupun pihak yang selama ini menikmati keuntungan ekonomi dari lahan-lahan tersebut.
“Kalau benar terjadi pelanggaran, ya proses! Jangan biarkan hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah,” tegas Diana menantang aparat penegak hukum.
Ajak Masyarakat Jadi Mata dan Telinga Hukum
Dalam pandangan umumnya, Kadek Diana juga menyoroti pentingnya peran masyarakat dan media sosial dalam membantu pengawasan terhadap praktik pelanggaran di lapangan.
“Sekarang zaman medsos, semua orang bisa jadi saksi dan pengawas. Pemerintah tidak bisa menutup mata karena masyarakat sudah cerdas. Kalau ada kejanggalan, laporkan. Kita semua punya tanggung jawab menjaga ruang hidup Bali,” ujarnya.
Ia menilai, teknologi digital telah membuka mata publik terhadap berbagai pelanggaran hukum, termasuk perusakan lingkungan dan penyimpangan tata ruang yang selama ini sulit terpantau.
Pelajaran dari Bencana dan Kegagalan Tata Ruang
Menyinggung bencana alam yang kerap terjadi di Bali, Kadek Diana menegaskan bahwa akar masalah banyak bersumber dari pelanggaran tata ruang dan kebijakan yang mengabaikan aturan hukum.
“Bencana yang terjadi belakangan ini bukan semata karena alam murka, tapi karena kita yang serakah dan melanggar aturan. Ini harus jadi pelajaran bagi pembuat kebijakan,” katanya.
Ia mengingatkan agar seluruh pejabat daerah memegang teguh Perda Tata Ruang Provinsi Bali, Perda Kabupaten/Kota, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), dan Perda Zonasi Wilayah Pesisir yang sudah sangat lengkap.
“Kita sudah punya perangkat hukum yang sempurna tinggal kemauan untuk menegakkannya. Jangan pura-pura tidak tahu. Ada zona suci pura, zona pemanfaatan, dan zona hunian yang harus dijaga. Kalau semua dilanggar, jangan heran kalau bencana datang bertubi-tubi,” ujarnya pedas.
“Jangan Korbankan Kesucian Pura dan Alam Bali”
Lebih jauh, Kadek Diana menyinggung pelanggaran di sekitar kawasan suci pura yang juga kerap dibiarkan tanpa tindakan.
Ia menjelaskan bahwa aturan radius kesucian pura (Apaneleng dan Apanimpung) sudah sangat jelas:
* Apaneleng Agung: 2 kilometer dari pura,
* Apaneleng Alit: 200 meter,
* Apanimpung: 50 meter.
“Semua sudah ada aturannya, tapi tetap dilanggar. Di zona suci pura malah dibangun villa dan restoran. Ini kebiadaban terhadap budaya Bali. Kalau pura dikomersialkan, habislah Bali kita,” tegasnya penuh emosi.
Tutup dengan Seruan Tegas: “Bali Butuh Pemimpin yang Berani Menegakkan Aturan!”
Menutup pandangan umumnya, I Kadek Diana menegaskan bahwa Bali butuh pemimpin yang berani menegakkan aturan, bukan yang pandai berpidato.
Menurutnya, semua persoalan mulai dari alih fungsi lahan, penerbitan sertipikat ilegal, hingga kerusakan lingkungan, bersumber dari kompromi dan keberpihakan yang salah.
“Kalau kita terus membiarkan pelanggaran, maka kita sedang menggali kubur untuk Bali sendiri. Pemimpin harus tegas. Hukum harus berdiri di atas semua kepentingan,” pungkasnya dengan suara lantang, disambut tepuk tangan dari sebagian anggota dewan. (Red)