
DENPASAR, Matakompas.com – Kasus dugaan pelanggaran ini mencuat setelah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali menemukan adanya 106 sertifikat hak milik (SHM) perorangan yang beririsan langsung dengan kawasan Tahura Ngurah Rai.
Penemuan itu diungkap dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang, Aset, dan Perizinan DPRD Bali pada Selasa (23/9).
Ketua Pansus, I Made Supartha, mempertanyakan dasar hukum penerbitan ratusan sertifikat tersebut oleh Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Bali.
Menanggapi temuan tersebut, Kepala Kanwil BPN Bali, I Made Daging, tidak menampik adanya kemungkinan tumpang tindih lahan antara sertifikat warga dengan kawasan Tahura Ngurah Rai.
la menegaskan, apabila hasil penyelidikan menunjukkan bahwa tanah tersebut benar berada di kawasan hutan lindung, maka sertifikat yang terbit bisa dibatalkan sesuai aturan.
Sebelum resmi meninggalkan jabatannya sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bali Ketut Sumedana memberikan “kado spesial” bagi publik Pulau Dewata.
la mengumumkan bahwa Kejati Bali menaikkan status dua kasus penting ke tahap penyidikan, salah satunya terkait dugaan korupsi di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Bali.
Kasus munculnya sertifikat di lahan Tahura mendapat sorotan masyarakat Bali pasca banjir bandang, apalagi dugaan penyimpangan alih fungsi lahan negara di kawasan konservasi hutan, yang seharusnya tidak boleh dimiliki atau digunakan untuk kepentingan pribadi maupun bisnis.
Dalam pernyataannya kepada awak media, Sumedana menyebut bahwa penyidik Kejati Bali menemukan indikasi kuat adanya tindak pidana korupsi dalam pengelolaan lahan Tahura. Karena itu, status perkara dinaikkan dari penyelidikan ke penyidikan.
“Kami sampaikan kabar baik, Kejaksaan Tinggi Bali telah meningkatkan status dua perkara ke tahap penyidikan. Salah satunya adalah kasus Tahura, di mana penyidik menemukan indikasi tindak pidana korupsi,” jelas Sumedana, Senin (20/10).
la menjelaskan, sekitar 20 saksi sudah diperiksa, dan sejumlah dokumen penting telah diklarifikasi.
Dengan meningkatnya status kasus, publik kini bisa mengetahui lebih banyak perkembangan penyidikan.
“Pemeriksaan kami melibatkan instansi terkait seperti Dinas Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kami ingin tahu siapa yang memegang hak pertama, kedua, dan ketiga. Semua akan terang di tahap penyidikan,” tegas dia.
Lebih lanjut, Sumedana menjelaskan bahwa kasus ini berawal dari alih fungsi tanah negara yang terjadi sejak tahun 1990-an. Padahal, kawasan Tahura merupakan tanah negara yang tidak dapat diganggu gugat peruntukannya.
“Tahura adalah tanah negara yang wajib dilindungi. Fungsinya tidak boleh diubah untuk kepentingan pribadi atau komersial. Namun, di masa lalu terjadi alih fungsi yang melanggar aturan,” tukasnya.
Untuk diketahui, Kasus dugaan pelanggaran ini mencuat setelah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali menemukan adanya 106 sertifikat hak milik (SHM) perorangan yang beririsan langsung dengan kawasan Tahura Ngurah Rai. (Red)