Daerah

Sidang Tuntutan Nenek Reja 93 Tahun Yang  Diduga Palsukan Silsilah dan Waris Rp 718 Miliar Ditunda

DENPASAR, Matakompas.com – Agenda sidang lanjutan perkara dugaan pemalsuan silsilah dan surat waris atas tanah senilai Rp 718,7 miliar yang melibatkan seorang nenek yang sudah uzur, Ni Nyoman Reja, 93, bersama 16 terdakwa lainnya di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar mengalami penundaan. Sidang yang dijadwalkan Rabu (23/7) dengan agenda pembacaan surat tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), ditunda karena jaksa belum siap.

“Mohon maaf hari ini kami belum siap, mohon waktu sidang ditunda, Yang Mulia,” ujar JPU Dewa Anom Rai kepada majelis hakim dalam persidangan. Untuk diketahui, sebelumnya pada agenda sebelumnya yakni pemeriksaan terdakwa, majelis hakim telah menunda selama 2 minggu untuk JPU menyiapkan surat tuntutan. Pada sidang kali ini, majelis hakim menjadwalkan sidang tuntutan agar digelar pada Selasa (29/7) mendatang.

Penundaan ini mendapat tanggapan dari tim penasihat hukum terdakwa, terutama terkait kondisi terdakwa Nyoman Reja. Salah satu Penasihat hukum, Vincensius Jala, mengaku kecewa karena Reja harus datang jauh-jauh ke pengadilan tanpa hasil.

“Kalau dari kita karena kita memikirkan nenek Reja, artinya setua ini nenek datang ke sini tidak jadi sidang, kecewa ya kecewa. Tapi mau bagaimana lagi, hukum acara kita memungkinkan untuk tunda, jadi tidak masalah. Kita tetap menghargai kesibukan Jaksa Penuntut Umum,” ujarnya ditemui usai sidang.

Namun secara manusiawi, kata Jala, situasi ini tentu berdampak pada kondisi batin Reja. “Jujur ya, minggu lalu itu saat sidang tidak ada, nenek sampai mandi pagi-pagi. Sudah termemori di pikirannya bahwa setiap minggu itu pasti ada sidang. Jadi dia siap-siap mau berangkat, eh baru tanya ternyata tidak ada sidang,” tuturnya.

Menjelang sidang tuntutan, Reja disebut sudah mulai merasa waswas dan takut. Bahkan menurut Jala, Reja sempat mengirim video kepadanya berisi permohonan kepada aparat penegak hukum. “Dia bilang begini, ‘Pak Kapolri, kenapa saya harus di penjara?’ Ya walaupun belum ada putusan tapi dia sudah memikirkan tentang penjara. Artinya sebagai manusia pasti siapa yang tidak tahu kalau haknya mau dicabut semua kalau di dalam penjara kan,” ucap Jala.

Meski begitu, kondisi fisik Reja dikatakan tetap sehat. “Dia sehat secara fisik dan ingin perkara ini cepat selesai, apapun hasilnya dia siap hadapi. Tapi kami sebagai penasihat hukum tetap berupaya agar beliau bisa bebas,” tegas Jala.

 

Seperti diberitakan sebelumnya, dalam surat dakwaan JPU, kasus dugaan pemalsuan surat menyangkut hak waris tanah senilai lebih dari Rp 718 miliar ini menyeret 17 orang anggota keluarga besar. Mereka terdiri dari berbagai jenjang kekerabatan, mulai dari anak, cucu, hingga sepupu, yang diduga bersekongkol menyusun silsilah keluarga palsu dan surat pernyataan waris untuk mengklaim tanah milik leluhur di kawasan Jimbaran, Kuta Selatan.

Dalam perkara ini, terdakwa Nyoman Reja, dan 16 anggota keluarganya yakni I Made Dharma, I Ketut Sukadana, I Made Nelson, Ni Wayan Suweni, I Ketut Suardana, I Made Mariana, I Wayan Sudartha, I Wayan Arjana, I Ketut Alit Jenata, I Gede Wahyudi, I Nyoman Astawa, I Made Alit Saputra, I Made Putra Wiryana, I Nyoman Sumertha, I Ketut Senta, dan I Made Atmaja didakwa melanggar Pasal 263 ayat (1) dan kedua Pasal 263 ayat (2) dan Pasal 277 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang pemalsuan surat, dengan ancaman pidana maksimal 7 tahun penjara.

JPU membeberkan rangkaian perbuatan para terdakwa dimulai sejak tahun 2001, saat keluarga besar mereka menyusun dokumen silsilah keluarga I Riyeg. Silsilah tersebut sempat dilegalkan oleh perangkat desa dan bendesa adat setempat. “Namun, dua dekade kemudian, pada 11 Mei 2022, para terdakwa secara bersama-sama diduga memalsukan dokumen silsilah baru dan surat pernyataan waris yang menyatakan mereka sebagai satu-satunya ahli waris sah dari I Riyeg dan I Wayan Sadra,” ungkap JPU.

Dalam silsilah yang diperbaharui tersebut, para terdakwa menambahkan tokoh fiktif dan mengubah informasi penting seperti jumlah anak leluhur, hubungan nyentana, hingga keturunan yang diakui. “Salah satu perubahan krusial adalah penyebutan bahwa I Wayan Riyeg menikah dengan Ni Wayan Rumpeng dan memiliki tiga anak, padahal versi sebelumnya menyebut hanya satu anak dan itu pun tidak punya keturunan (putung),” terang JPU.

Sementara itu, para saksi korban yaitu I Wayan Terek, I Made Tarip Widarta, Nyoman Serep, Ketut Adnyana, dan Wayan Astawa menyatakan bahwa informasi dalam dokumen baru itu tidak benar. Mereka menunjukkan bukti lain seperti silsilah keluarga tahun 1985 dan surat keterangan resmi dari 1979 yang menguatkan bahwa mereka adalah ahli waris sah dari garis keturunan I Made Ketek anak angkat dari I Riyeg yang disetujui secara adat.

Puncaknya, pada 17 Januari 2023, para terdakwa menggunakan surat-surat tersebut sebagai dasar mengajukan gugatan perdata terhadap para saksi korban di Pengadilan Negeri Denpasar. Gugatan ini teregistrasi dengan nomor perkara 50/Pdt.G/2023/PN.Dps dan menyasar tanah seluas lebih dari 13 hektare di Banjar Pesalakan, Jimbaran, yang terdiri dari enam bidang tanah dengan pipil berbeda. Nilai kerugiannya ditaksir mencapai Rp 718,75 miliar.

Jaksa menyebut tindakan para terdakwa bukan hanya menimbulkan kerugian materiil, tetapi juga mencemarkan proses hukum dan tatanan adat. “Dengan membuat dan menggunakan surat-surat palsu seolah-olah sah, para terdakwa berupaya mengambil hak atas tanah milik saksi korban dengan cara melawan hukum,” tegas JPU.

Salah satu bukti penting dalam perkara ini adalah surat pernyataan yang dibuat kedua pihak pada Juli 2001. Di dalamnya disebutkan bahwa para terdakwa, melalui perwakilan I Made Patra dan I Made Dharma, telah menerima sebagian tanah secara cuma-cuma dan berjanji tidak akan menuntut tanah lain milik pihak pertama. Namun janji itu dilanggar melalui upaya gugatan yang kemudian terkuak sebagai hasil pemalsuan dokumen. (Red)

  Banner Iklan Rafting Jarrak Travel

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button