JAKARTA, Matakompas.com-Prof. OC. Kaligis adalah sosok yang ulet dalam memperjuangkan penegakan hukum yang adil dan tanpa tebang pilih. Hal tersebut bukan hanya pada klien klienya namun juga perihal adanya ketidakadilan yang menimpa dirinya.
Adapun langkah langkahnya saat ini tertera dalam surat terbukanya yang diterima oleh Redaksi sebagai berikut :
Sukamiskin, Rabu 14 Juli 2021
Kepada Yth
Bapak Ir. Joko Widodo
President Republik Indonesia
Istana Negara Republik Indonesia
Jalaii Medan Merdeka Utara No. 3
Jakarta Pusat
Hal: Penguasa Peradilan Menzolimi Saya. Saya diperlakukan Tidak Adil.
Dengan hormat.
Saya yang bertandatangan dibawah ini, Otto Comelis Kaligis, sekarang berdomisili hukum untuk sementara, di Lapas Kelas 1A Sukamiskin Bandung, untuk kesekian kalinya menulis surat ini kepada Bapak Presiden, dengan alamat dan perantaraan Bapak H. Ali Mochtar Ngabalin, MA, agar semoga surat saya ini mendapat perhatian Bapak Presiden.
Mengapa harus dengan perantaraan Bapak Ngabalin? Saya membaca di Media ketika gerakan BEM menjadi berita ramai di Media, usul Pak Ngabalin adalah bila hendak memberi masukan positif ke Bapak Presiden, Pak Ngabalin punya kapasitas mengatur pertemuan antara perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa dengan Bapak Presiden. Harapan saya sebagai Warga Binaan tidak sejauh itu. Cukup surat saya mendapatkan perhatian Bapak Presiden. Mengapa saya mengharapkan demikian? Karena sudah 16 kali saya bersurat ke Mahkamah Agung, baik itu kepada Bapak Ketua Mahkamah Agung maupun kepada Wakil Ketua Mahkamah Agung bidang Yudisial, nampaknya surat permohonan untuk mendapatkan keadilan atas diri saya sama sekali diabaikan oleh Mahkamah Agung. Padahal dalam Putusan PK No. 176/PK.Sus/2017, Majelis Hakim Agung sendiri membenarkan bahwa yang aktif menghubungi hakim, mendiskusikan mengenai perkara TUN yang dimajukan oleh kantor saya adalah advokat Gary. Saya sama-sama didakwa berdasarkan Pasal 6 ay at (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 dengan ancaman minimum vonis 3 tahun. Bukti permainan JPU KPK adalah ketika advokat Gaiy divonis 2 tahun, dibawah minimum, Jaksa KPK tidak memajukan kasasi.
Hari ini tanggal 14 Juli 2021 tepat saya ditangkap KPK 6 tahun yang lalu. Tepatnya tanggal 14 Juli 2015 di hotel Borobudur Jakarta. Ditangkap tanpa surat penggilan, tanpa BAP saya, tanpa barang bukti uang suap atau uang THR. OTT terjadi di Pengadilan TUN Medan, uang THR disita dari Advokat Gary. Seandainya fakta hukum ini diperlakukan sama ketika Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, Saudara Jandjri M. Gaffar menerima suap dari Nazaruddin sebesar 120.000 dollar singapura, dan setelah beberapa hari mengembalikan uang suap tersebut karena isterinya nangis-nangis agar uang dikembalikan, maka karena gratifikasi bukan suap menurut Prof. Mahfud MD, maka tidak ada alasan untuk menjerat panitera dan advokat Gary, karena uang THR bukan uang suap. Apalagi diberikan setelah perkara kantor saya dikalahkan. Uang suap diberikan untuk memenangkan perkara. Berikut alasan saya memohon melalui Bapak Presiden, perlakuan keadilan terhadap diri saya.
- PK kedua saya, saya ajukan dan daftarkan di PN Tipikor Jakarta Pusat pada tanggal 25 Maret 2019 dibawah register Akta Pemyataan Peninjauan Kembali No.: 4/Akta.Pid.Sus.PK/TPK/2019/PN.JKT.PST.
Saya memajukan PK kedua saya atas dasar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PUU- XI/2013 tanggal 6 Maret 2014. Ada tiga yurisprudensi putusan PK atas PK, masing-masing:
No | Tahun | Permohonan PK Kedua | Putusan |
1. | 2017 | Permohonan PK kedua terhadap PK pertama Nomor 242 PK/Pid.Sus/2016 tanggal 20 Juli 2017 atas nama Ir. Bakri Makka. | Bebas |
2. | 2019 | Permohonan PK Kedua Nomor 214 PK/Pid.Sus/2019 tanggal 25 Juni 2019 terhadap putusan MA No. 28 PK/Pid.Sus/2014, tanggal 18 Juni 2014 atas nama Ir. Toto Kuntioro Kusuma Java. | Bebas |
3. | 2019 | Permohonan PK Kedua terhadap PK Pertama No. 53 PK/Pid.Sus/2019 tanggal 29 Juli 2019 atas nama H.Taufhan Ansar Nur dan Ir.H.Abdul Axis Siad io. Oia. M.M. | Bebas |
- Majelis Hakim Pengadilan Negeri yang memeriksa syarat formil permohonan PK kedua saya, memberikan pendapat bahwa syarat formil permohon PK Kedua saya telah terpenuhi dan setuju untuk melanjutkan PK kedua tersebut ke Mahkamah Agung yang berwewenang memeriksa substansi PK Kedua saya.
- Setelah berkas PK kedua saya sampai ke Mahkamah Agung, Pit. Panitera Mahkamah Agung bemama Suharto, S.H., M.Hum. pada tanggal 6 September 2019 mengembalikan berkas tersebut untuk dilengkapi dengan syarat formil (Lampiran-1: Surat Panitera).
- Saya melengkapi dengan mengirim kembali dua pendapat hakim konstitusi yang pemah terlibat pemeriksaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 34/PUU-X1/2013, yang membenarkan pengajuan PK lebih dari sekali. Mereka masing-masing DR. Patrialis Akbar (Lampiran-2) dan DR. Akil Mochtar (Lampiran-3).
- Sejak saya melengkapi syarat formil tersebut, sampai detik ini, Mahkamah Agung tak kunjung memeriksa PK kedua saya, meskipun sudah lima belas surat saya yang saya kirimkan ke Mahkamah Agung tanpa balasan (Lampiran-4: bukti surat kepada Ketua MA tertanggal 5 Mei 2021).
- Ketika saya memajukan PK pertama, adalah Bapak Ketua MA sendiri, sebelum Beliau diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung, yang memeriksa PK Pertama saya melalui putusan Nomor 176 PK/Pid.Sus/2017 tanggal 19 Desember 2017. Didalam pertimbangan Hukum Bapak Ketua MA dihalaman 315 sampai dengan 318 (Lampiran-5) terbukti bahwa yang aktif menemui hakim dan panitera untuk memberikan uang THR adalah advokat Muh. Yagari Bhastara Guntur alias advokat Gary. Saya didakwa dengan pasal yang sama. Vonis advokat Gary hanya 2 tahun, Saya 10 tahun. Kata hakim agung dalam PK pertama saya: disparitas vonis yang menjolok, bertentangan dengan rasa keadilan. Berikut saya kutip pertimbangan Putusan PK Pertama saya:
Putusan PK pertama halaman 316 butir ke-3:
“Bahwa untuk menunjukkan bahwa peran Moh. Yagari Bhastara Guntur sangat besar dan signifikan dalam hal terjadinya tindak pidana korupsi (suap), dapat dibuktikan melalui fakta siding pada tanggal 2 Juli 2015 Moh. Yagari Bhastara Guntur yang menyerahkan uang kepada Tripeni Irianto Putro, dan juga Moh. Yagari Bhastara Guntur melakukan paparan mengenai permohonan atau gugatan di muka Dermawan Ginting, selain itu Moh. Yagari Bhastari Guntur menyerahkan uang kepada Dermawan Ginting dan Amir Fauzi. ”
Putusan PK pertama halaman 317 butir 2 dan ke 3:
“Bahwa berdasarkan fakta tersebut, sangat jelas dan terang bahwa Peran Moh Yagari Guntur Jauh lebih besar dan signifikan dalam hal terjadinya tindak pidana korupsi (suap) dibandingkan dengan Pemohon PK/terpidana. ”
“Bahwa disparitas pemidanaan yang mencolok harus dihindari karena hal ini menyangkut soal keadilan dalam pemindanaan yang wajib ditegakkan. ”
Putusan PK pertama halaman 318:
“Bahwa seharusnya dengan peran masing-masing sebagaimana fakta yang dikemukakan diatas, Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana harus dijatuhi pidana penjara sama atau setidaknya mendekati pidana penjara yang dijatuhkan terhadap Moh. Yagari Bhastara Guntur dan tidak mencolok perbedaannya, namun dalam kenyataannya Yudex Yuris bahkan memperberat pidana penjara yang dijatuhan kepada Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana:
“Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana tidak layak mendapat pemberatan pidana penjara sebab dari segi nilai atau besaran suap yang diberikan kepada Hakim yang memeriksa permohonan atau gugatan terkait Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014, nilai suapnya relatif sedikityang sekitar Rp. 396.000.000,- (tiga ratus Sembilan puluh enam juta rupiah), jika dibandingkan dengan perkara suap lainnya yang nilainya miliaran bahkan puluhan miliar ditambah dengan adanya kerugian negara niliar bahkan puluhan miliar, dijatuhi pidana penjara rata-rata 7 (tujuh) tahun. Sedarigkan Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana dijatuhi pidana penajara 10 tahun ”
“Bahwa perbedaan pemidanaan sebagaimana dijelaskan adalah termasuk bentuk disparitas yang harus dihindari”
- Lalu mengenai ide pemberian uang THR menj elang Ketua Pengadilan TUN Medan Pak Tripeni Irianto Putro mudik lebaran, diciptakan oleh Panitera Syamsir Yusfan tanpa Ketua Pengadilan mengetahuinya, dan tanpa saya ketahui. Semua ini terungkap dalam BAP Syamsir Yusfan (Lampiran-6). Kepergian advokat Garry menemui panitera Syamsir Yusfan tanggal 9 Juli 2015 saat mereka teijaring OTT juga diluar pengetahuan saya dan kantor saya tidak memberi tiket Jakarta-Medan, karena memang hari itu, tidak ada agenda ke Medan. Advokat Gary memaksa Mustafa untuk membelikan tiket tersebut (Bukti Lampiran-7). Semua fakta ini terungkap dalam kesaksian dibawah sumpah di muka persidangan pada Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
- Mengapa uang THR? Karena tidak mungkin lagi uang suap. Perkara saya kalah, dan panitera Syamsir Yusfan mengetahui fakta hukum ini. Karena putusan saya dikalahkan oleh Hakim Tripeni Irianto Putro yang memeriksa perkara TUN saya dan pada hari putusan tersebut 7 Juli 2015 saya segera memerintahkan advokat Garry untuk menyatakan banding dan faktanya telah diajukan banding, selanjutnya pada hari itu juga advokat Gary kembali ke Jakarta. Dari tanggal 7 Juli 2015 sampai tanggal 9 Juli 2015, saya sama sekali tak lagi berkomunikasi dengan advokat Garry. Biasanya kalau sudah menyatakan banding, baru sebulan kemudian memori banding diselesaikan. Itu sebabnya ketika saya di Denpasar lalu pada tanggal 9 Juli 2015 saya dikabarin oleh sekertaris saya Yenny Misnan, bila sadapan saya tidak diedit KPK, akan terdengar suara saya, mengapa itu bisa teijadi? Siapa yang menyuruh Advokat Garry ke Medan? Beruntung bukan Yenny Misnan yang menyuruh. Seandainya itu teijadi, pasti Yenny turut ditangkap KPK, karena Yenny adalah orang kepercayaan saya yang mengatur keuangan kantor. Dalam dunia suap, suap diberikan untuk memenangkan perkara. Jadi uang THR tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan putusan hakim yang mengalahkan saya.
- Sebagai fakta perbandingan: Ketika Sekjend Mahkamah Konstitusi menerima pemberian uang 120.000 dollar Singapura dari Nazaruddin, sempat Jandjri M. Gaffar mengkantongi uang tersebut untuk beberapa hari. Beruntung Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Mahfud MD, memberikan pembelaannya bahwa pemberian uang tersebut adalah Gratifikasi yang bebas tuntutan, karena Sekretaris Jenderal MK saudara Jandjri M. Gaffar bukan hakim pemutus, yang punya wewenang untuk mengatur perkara sebagai hakim pemutus.
- Mestinya ketika teijadi OTT tanggal 9 Juli 2015 terhadap advokat Garry dan para hakim di Peradilan TUN, dipertanyakan uang itu uang apa, dan ketika pada saat itu juga dikembalikan, maka sangkaan suap terhadap mereka tak dapat dijadikan pembenaran OTT oleh KPK. Cuma karena momen itu digunakan sebagai pintu masuk untuk menjerat saya, maka mereka pun disidik untuk kemudian diadili.
- Atas pertimbangan tersebut mestinya vonis terhadap diri saya minimal sama dengan advokat Garry, karena kami berdua terbukti memenuhi unsur dakwaan JPU KPK yakni Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Tipikor. Bedanya saya sama sekali tidak pemah mendiskusikan dalam satu acara gelar perkara mengenai gugatan kantor saya yang lagi diperiksa di Peradilan TUN Medan;
- Sebagai bukti bahwa OTT advokat Garry sama sekali diluar pengetahuan saya, saya lampirkan Berita Acara Pemeriksaan panitera Syamsir Yusfan (Vide Lampiran-6) dan BAP Mustafa (Vide Lampiran-7);
- Faktanya advokat Garry hanya divonis 2 tahun dibawah ketentuan dakwaan pasal 6 ayat (1) Undang-undang Tipikor. Minimum vonis berdasarkan pasal tersebut adalah 3 tahun. Mestinya kalau putusan dibawah minimum, Jaksa melakukan upaya hukum sampai kasasi;
- Dari hasil pemeriksaan persidangan bila peradilan dibawah pimpinan almarhum hakim Artidjo, mau mempertimbangkan semua fakta persidangan atas diri saya, saya yakin saya dapat dibebaskan. Sudah banyak ahli hukum, bahkan pemyataan ex. Ketua Mahkamah Konstitusi, yang membenarkan bahwa ada 17 putusan hakim agung Artidjo yang harus dieksaminasi. Di Sukamiskin, saya banya mengkaji putusan hakim agung Artidjo. Semua yang saya baca, diputus sama sekali tanpa pertimbangan hukum. Percuma membuat Memori PK dengan menghadirkan Pendapat para ahli hukum pidana yang rata-rata Professor. Pendapat mereka pasti tidak pemah dibaca, karena argumentasi terhadap pendapat ahli, tidak pemah dimuat dalam pertimbangan putusan hakim agung Artidjo.
- Untuk jelasnya permohonan saya, saya lampirkan permohonan saya ke Mahkamah Agung, permohonan melalui surat yang ke-15, tertanggal 5 Mei 2021, perihal permohonan agar Mahkamah Agung memeriksa PK kedua saya yang saya majukan sejak tanggal 15 Maret
2019 dan sampai sekarang masih di-peti-eskan oleh Mahkamah Agung* (Vide Lampiran-4). Saya lampirkan surat saya itu untuk menjadi bahagian tak terpisah dari permohonan saya.
- Selama 6 tahun dipenjara, permohonan remisi saya pun ditolak oleh KPK. Padahal menurut putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016, setelah putusan in kracht, KPK tidak lagi punya wewenang mencampuri urusan remisi yang menjadi kompetensinya Menteri Hukum dan HAM. Saya lampirkan penolakan pemberian Remisi oleh KPK melalui suratnya tertanggal 28 April 2020 (Lampiran-8) dan tanggal 16 Juni 2020 (Lampiran-9)
- PK kedua saya, saya majukan berdasarkan putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2013. Sebagaimana diuraikan pada angka 1 diatas terlampir juga beberapa putusan PK sebagai referensi.
- Permohonan: Semoga melalui surat ini Bapak Presiden dapat memberikan atensinya agar
permohonan PK kedua saya yang saya majukan pada tanggal 25 Maret 2019 dibawah register Akta Pemyataan Peninjauan Kembali No.:
4/Akta.Pid.Sus.PK/TPK/20l9/PN.JKT.PST. dan telah disetujui pemeriksaan nya oleh hakim pengadilan negeri yang memeriksa PK kedua saya, DAPAT DIPUTUSKAN oleh Hakim Agung.
- Permintaan Pit. Panitera Mahkamah Agung bernama Suharto, S.H., M.Hum. untuk melengkapi syarat formil permohonan PK Kedua saya melalui Surat Panitera tertanggal 6 September 2019, telah saya penuhi dengan melengkapi dua pendapat hukum masing-masing pendapat hukum DR. Patrialis Akbar dan DR. Akil Mochtar, dua-duanya hakim Agung yang terlibat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 34/PUU-XI/2013. (Vide Lampiran-2 dan Lampiran-3);-
- Permohonan Remisi saya pun ditolak KPK (Vide Lampiran-11 dan Lampiran-12). Walaupun saya berpendapat bahwa setelah putusan in kracht, maka sesuai dengan pertimbangan putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016, bukan lagi wewenang KPK untuk ikut menentukan pemberian Remisi. Wewenang berada ditangan Dirjen Pas qq. Menteri Hukum dan HAM;
- Permohonan: Semoga surat ini melalui Pak Ngabalin, bisa menjadi atensi Bapak Presiden, untuk saya dapat menggapai keadilan. Semua yang OTT tanggal 9 Juli 2015, terutama Advokat Garry telah lama bebas, karena vonis 2 tahun, sedangkan Rio Capella yang satu paket dengan perkara saya hanya divonis lebih dari satu tahun. Fakta hukum ini adalah sekedar untuk menyampaikan betapa bencinya KPK terhadap diri saya, karena melalui buku-buku saya, sampai hari ini, saya masih membongkar oknum-oknum KPK yang terlibat Pidana. Berat tugas Pak Firli Bahuri untuk membersihkan KPK-nya Novel Baswedan yang ingin selalu berkuasa di KPK. Semoga perkara saya bisa dilihat secara jemih. Saya seorang Pengacara yang tidak pemah merampok uang negara.
Demikian permohonan ini saya sampaikan. Atas perhatian Bapak, saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya,
Suara dari Penjara.:
Otto Comelis Kaligis
Tembusan:
Kepada Yth. Dewan Pengawas KPK
Kepada Yth. Bapak Prof. Yasonna Hamonangan Laoly, S J-I., M.Sc., Ph.D. Menteri Hukum dan HAM R.I.
Kepada Yth. Bapak Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej, S.H. M.Hum. Wakil Menteri Hukum dan HAM R.I.
Editor : AK