Seni Budaya

Mimbar Agama Khonghucu : Makna Hari DUĀNYÁNG

Oleh : Ws. Candra Wilantara

Wéi Dé Dòng Tiān ! (惟德動天)

Hari Raya Duānyáng ialah hari suci bersujud ke hadirat Tiān Yang Maha Esa yang telah dilakukan umat Khonghucu atau

Rújiào (儒教) sejak zaman purbakala. Di Indonesia kita lebih mengenalnya dengan sebutan dalam dialek Hokkian sebagai perayaan

Go Gwee Chee Go atau Hari Raya tanggal 5 bulan V Khongcu Lek. (五 月 初五 日. 孔子曆)

Duān (端) artinya lurus, terkemuka, terang, yang menjadi pokok atau sumber, dan Yáng (陽) artinya sifat positif atau matahari,

jadi Duānyáng ialah saat matahari memancarkan Cahaya paling keras. Hari Raya ini dinamai pula Hari Raya Duānwŭ (端午節).

 

Wŭ (午) artinya saat antara jam 11.00 s/d 13.00 siang, jadi perayaan ini tepatnya ialah pada saat tengah hari. Pada saat-saat demikian pada hari Duānyáng , matahari benar-benar melambangkan curahnya rakhmat Tuhan.

Cahaya matahari ialah sumber kehidupan, lambang rakhmat dan kemurahan Tiān atas manusia dan segenap makhluk dunia.

Maka saat Duānyáng ialah saat untuk umat bersuci, bermandi, bersujud menyampaikan sembah dan syukur kepada-Nya.

Pada saat Duānyáng kita rasakan sebagai saat paling besar Tiān melimpahkan rakhmat karunia-Nya, khususnya pada saat Wŭ, saat tengah hari. Oleh karena itu timbul kepercayaan pada saat Duanwu segala makhluk dan benda mendapat curahan karunia kekuatan paling besar.

Orang-orang percaya bahwa ramuan obat-obatan yang dipetik pada saat itu akan besar khasiatnya. Karena letak matahari tegak lurus, orang percaya dan memang benar bahwa telur ayam pun bila ditegakkan saat itu akan dapat berdiri tegak lurus.

Bahkan sebagian masyarakat di beberapa daerah mempercayai dan melakukan penyimpanan air yang diambil pada saat Wŭ di hari Duānyáng dan menjadikannya sebagai air berkhasiat.

Hari raya Duānyáng ini disebut pula dengan dalam Dialek Hokkian sebagi hari Peh Cun yang artinya merengkuh Dayung (扒船) atau Beratus Perahu (百船). Dinamai demikian karena pada hari itu sering diadakan perlombaan dengan banyak (beratus) perahu.

Tentang perlombaan dengan perahu di sungai-sungai itu dikaitkan dengan suatu peristiwa pada hari Duānyáng yang terjadi pada zaman Zhànguó (戰國時代 zaman Peperangan Antar Negara, suatu zaman setelah wafat Nabi Kŏngzĭ, 403SM–231SM) di negeri Chŭ (楚), kisahnya sebagai berikut :

Dinasti Zhōu (周) pada zaman Zhànguó sudah tidak berfungsi lagi sebagai negara pusat, pada zaman itu ada tujuh negara besar, yakni negeri Qín (秦), Qí (齊), Chŭ (楚), Yàn (燕), Hán (韓), Zhào (趙), dan Wèi (魏).

Negeri Qín ialah negeri yang paling kuat dan agresif, maka enam negeri yang lain itu sering bersekutu untuk bersama menghadapi Qín.

Qū Yuán (屈原, 340SM–278SM) adalah seorang menteri besar dan setia dari negeri Chŭ, beliau seorang tokoh yang paling berhasil menyatukan ke-enam negeri itu untuk menghadapi negeri Qín. Karena itu orang-orang negeri Qín terus-menerus berusaha menjatuhkan nama baik Qū Yuán, terutama berhadapan raja negeri Chŭ, yakni Chǔ Huáiwáng (楚懷王).

Di negeri Chŭ ternyata banyak pula menteri-menteri yang tidak setia, seperti Pangeran Gōngzi Lán (公子蘭), Qín Shàng (斳尚) Shàngguān Dàfū (上官大夫), dan lain-lain.

Dengan bantuan orang-orang itu, Zhāng Yí (張儀) seorang menteri negeri Qín yang cerdik dan licin berhasil meretakkan hubungan Qū Yuán dengan raja negeri Chŭ. Qū Yuán dipecat dan berantakanlah persatuan ke enam negei itu.

Chǔ Huái wáng bahkan terbujuk oleh janji-janji yang menyenangkan, mau datang ke negeri Qín. Di sana ia ditawan dan menyesali perbuatannya sampai mangkatnya. Raja negeri Chŭ yang baru, Chǔ Qǐng Xiāngwáng (楚頃襄王), kini kembali memberikan kepercayaan kepada Qū Yuán.

Ke-enam negeri dapat dipersatukan kembali sekalipun tidak sekokoh dahulu. Pada tahun 293 SM negeri Hán dan Wèi yang melawan negeri Qín dihancurkan dan 240.000 orang rakyatnya dibinasakan, oleh peristiwa ini Qū Yuán kembali difitnah akan membawa negeri Chŭ mengalami nasib seperti negeri Hán dan Wèi.

Chǔ Qǐng Xiāngwáng ternyata lebih buruk kebijaksanaannya daripada raja yang marhum, ia tidak saja memecat Qū Yuán, bahkan kepadanya dijatuhi hukuman buang ke daerah danau Dòngtíng (洞 庭), dekat sungai Mìluó(汨羅). Ditempat pembuangan ini Qū Yuán hampir-hampir tidak tahan, hanya berkat kebijaksanaan kakak perempuannya yang bernama Nǚ Xū (女嬃), beliau dapat ditenteramkan dan rela menerima keadaannya itu.

Meski demikian beliau tidak selalu dapat serasi, maklum beliau seorang bangsawan negeri Chŭ sehingga tidak dapat melupakan tanggung-jawab kepada negara dan leluhurnya, karena itu Qū Yuán sering merasa kesepian dan timbul kejemuan akan suasana kehidupannya.

Dalam saat demikian itu, beliau beroleh kenalan seorang nelayan, yang ternyata seorang pandai yang menyembunyikan diri.

Orang itu menyembunyikan nama aslinya, hanya menyebut dirinya Yú Fū (漁夫 Bapak Nelayan). Dengan Yú Fū ini Qū Yuán mendapatkan kawan bercakap meski pandangan hidupnya tak sejalan.

Yú Fū berprinsip meninggalkan hidup bermasyarakat yang buruk keadaannya, sedangkan Qū Yuán biarpun tidak mau tercemar oleh keserakahan dan kekotoran dunia tetapi tetap berharap dapat mengembangkan kembali Jalan Suci Nabi Kŏngzĭ bagi kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat.

Demikianlah Qū Yuán sangat akrab dengan nelayan itu. Suatu saat, ketenteraman Qū Yuán itu ternyata dihancurkan oleh berita hancur-binasanya ibu kota negeri Chŭ, tempat Miào (廟) leluhurnya yang diserbu orang negeri Qín.

Hal ini menjadikan Qū Yuán yang telah lanjut usia itu merasa tiada arti bagi hidup pribadinya. Setelah dirundung kebimbangan dan kesedihan, beliau memutuskan menjadikan dirinya yang telah tua itu biarlah menjadi tugu peringatan bagi rakyatnya akan peristiwa yang sangat menyedihkan atas tanah air dan negerinya itu, semoga bangkit semangat rakyatnya menegakkan kebenaran dan mencuci bersih aib yang menimpa negerinya.

Ketika itu kebetulan ialah saat hari suci Duānyáng , beliau mendayung perahunya ke tengah-tengah sungai Mìluó, dinyanyikan sanjak-sanjak ciptaannya (antara lain sanjak Lísāo 離騷) yang telah dikenal rakyat sekitarnya, yang mencurahkan rasa cinta tanah air dan rakyatnya. Rakyat banyak tertegun mendengar semuanya itu.

Pada saat itu beliau sampai ke tempat yang jauh dari kerumunan orang, beliau menerjunkan diri ke dalam sungai yang deras aliran dan dalam itu.

Beberapa orang yang mengetahuinya segera berusaha menolongnya, tetapi hasilnya nihil, jenazahnyapun tidak diketemukan.

Seharian Yú Fū, nelayan kawan Qū Yuán itu, dengan perahu-perahu kecil mengerahkan kawan-kawannya mencari, hasilnya sia-sia belaka.

Pada tahun ke dua saat Duānyáng , ketika kembali orang merayakan hari suci Duānyáng , Yú Fū telah membawa sebuah tempurung bambu berisi beras dituangkan ke dalam sungai untuk mengenang kembali dan menghormati Qū Yuán.

Banyak orang lalu mengikuti jejak Yú Fū itu. Demikianlah kepergian Qū Yuán tidak sia-sia, telah mampu menggerakkan hati rakyat kepada cita yang luhur, bahkan telah mengubah sikap Yú Fū yang telah mengingkari duniawi itu. Inilah kemenangan pengorbanan Qū Yuán.

Pada tahun-tahun berikutnya, kebiasaan mempersembahkan beras di dalam tempurung bambu iu diganti dengan kue dari beras ketan yang dibungkus daun bambu, yang disini kita kenal dengan nama bakcang dan kue cang.

Diadakan perlombaan-perlombaan perahu yang dihiasi gambar-gambar naga (lóngchuán 龍船), semuanya mengingatkan usaha mencari jenazah Qū Yuán pecinta tanah air, setiawan dan pecinta rakyat itu.

Di dalam dirinya tercermin jiwa besar dan suci, yang satya kepada Firman Tiān, menggemilangkan kebajikan dan mengasihi sesama manusia. Demikianlah tiap hari raya Duānyáng selalu diadakan pula peringatan untuk Qū Yuán, seorang yang berjiwa mulia dan luhur, berjiwa Junzi dari negeri Chŭ itu.

Shànzāi (善哉) !

  Banner Iklan Rafting Jarrak Travel

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button