Daerah

Made Wijaya Soroti Sewa Ruang Publik di Tanjung Benoa: Pemerintah Diminta Lebih Transparan

BADUNG, Matakompas.com – Sewa ruang publik di Kabupaten Badung menjadi isu yang kembali menuai perhatian serius.

Pasalnya, praktek penyewaan lahan publik kepada pihak swasta menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan hilangnya akses ke area pantai yang seharusnya terbuka untuk umum. Apalagi, kini kawasan pesisir dimanfaatkan oleh Hotel Sakala di Tanjung Benoa.

Wakil Ketua II DPRD Badung, I Made Wijaya, SE., yang juga Bendesa Adat Tanjung Benoa menyampaikan pandangan tegasnya mengenai perlunya transparansi dan keterlibatan otoritas adat dalam setiap kebijakan penyewaan ruang publik.

“Pantai dan kawasan publik bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga bagian dari identitas dan ruang hidup masyarakat adat yang harus dijaga bersama,” kata Made Wijaya, saat dikonfirmasi awak media, Sabtu, 11 Oktober 2025.

Made Wijaya menilai, tindakan pihak hotel yang menanam pohon dan memasang pembatas di area publik telah membatasi akses masyarakat ke pantai dan menimbulkan ketidaknyamanan di tengah warga.

“Kami tidak menolak investasi. Namun Pemerintah harus melibatkan Desa Adat dan masyarakat dalam setiap keputusan yang menyangkut ruang publik. Ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal hak dan identitas masyarakat adat,” tegasnya.

Made Wijaya juga menyoroti pentingnya koordinasi yang lebih baik antara Pemerintah Daerah dan Otoritas Adat, agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan kesalahpahaman di lapangan.

 

 Transparansi, menurutnya, menjadi kunci agar publik memahami dasar hukum dari setiap kerja sama atau perjanjian penyewaan yang dilakukan pemerintah.

Pada kesempatan tersebut, Made Wijaya mendesak agar Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Badung membuka dokumen kontrak penyewaan untuk diverifikasi secara terbuka.

Made Wijaya juga meminta pihak Hotel Sakala menunjukkan bukti legalitas hak sewa yang mereka miliki sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum kepada masyarakat.

“Kami ingin tahu apa dasar hukum mereka menutup akses dan menanam pohon di area publik. Kalau memang disewa resmi, tentu harus ada batas dan ketentuan yang jelas,” tambahnya.

Made Wijaya juga menegaskan kembali pentingnya kehadiran Desa Adat dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan ruang publik.

Pemerintah Daerah diharapkan lebih terbuka dan menghormati peran adat sebagai mitra dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan, investasi dan hak masyarakat.

“Ruang publik tidak boleh dikuasai sepihak oleh pihak swasta. Untuk itu, Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tetap menjamin akses masyarakat dan menghormati hak-hak tradisional yang telah ada jauh sebelum adanya investasi modern,” pungkasnya. (red).

  Banner Iklan Rafting Jarrak Travel

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button