Oleh Putu Suasta
Alumnus Fisipol UGM dan Universitas Cornell
WWW.MATAKOMPAS.COM- Made Wianta, Maestro seni rupa yang diakui dunia, telah berpulang pada hari Jumat, 13 November 2020. Jagat seni rupa telah kehilangan satu warganya yang begitu dinamik, energik dan kaya akan gagasan. Seniman kelahiran Apuan, Tabanan, 20 Desember 1949 ini telah lama sakit hingga menjelang meninggalnya. Sepanjang masa-masa sakitnya, tak sedikit para sahabat seniman menjenguk sang maestro ini di rumahnya di bilangan Tanjungbungkak, Denpasar.
Bagi seniman muda di Bali, sosok Wianta adalah panutan, terutama dalam hal kreativitas, aktivitas dan vitalitas yang tak pernah kendur. Di samping itu, Wianta juga suka merangkul seniman-seniman muda untuk berbuat sesuatu. Ia juga sering turut serta dalam hajatan seni yang diselenggarakan oleh para seniman muda Bali.
Baginya, larut dalam aktivitas seniman muda Blai, seperti pameran, work shop, kemah budaya, adalah dalam upaya memupuk kebersamaan dan memberi semangat kepada mereka dalam berkesenian.
Wianta bukanlah seniman egoistis. Ia mempunyai perhatian yang luar biasa kepada saeniman-seniman muda Bali. Dalam beberapa hal, Wianta pernah menyelenggarakan semacam kolaborasi seni dalam bentuk kemah budaya di Apuan, Tabanan, dan menjadikan rumahnya yang luas lapang itu sebagai lokasi peristiwa. Puluhan seniman muda ia libatkan dalam peristiwa itu. Ia ingin membangun kebersamaan dalam hidup berkesenian di Bali.
Wianta adalah seniman yang tak bisa diam, bahkan sejak ia menjadi mahasiswa di ASRI (kini ISI) Yogyakarta. Selain tekun menggeluti studi seni rupanya, Wianta juga gemar mengarungi khasanah pengetahuan. Ia suka membaca buku, berdiskusi, aktif dalam kegiatan seni, melakukan pengembaraan demi memenuhi keingintahuannya dan memperdalam kekuatan artistiknya.
Ia adalah seniman yang ulet, tak gampang berputus asa, selalu mencari dan mencari apa yang diperlukan dalam proses kreatifnya.
Meski Wianta suka berpartisipasi dalam kegiatan kesenian di Bali, namun pada dasarnya ia adalah ‘seniman yang berjalan sendirian’.
Ia tahu betul apa yang dicarinya dalam membentuk keseniannya, tahu pula bagaimana membangun apresiasi yang benar dalam hubungan karya dan apresianya. Bagi Wianta, berkesenian bukan hanya bergelut dengan hal-hal estetik, namun juga merawat apresiasi publik terhadap kesenian. Dan Wianta telah lama melakukan hal itu.
Salah satu upaya membangun dan merawat apresiasi publik terhadap seni (rupa) ialah dengan melakukan berbagai happening art yang melibatkan banyak orang dan dilakukan di ruang-ruang publik. Salah satu event monumental yang pernah diselenggarakan ialah kegiatan seni ‘Art and Peace’. Kegiatan kolosal yang semula melibatkan helikopter dan dari sana diturunkan spanduk yang bertuliskan ‘Art and Peace’ namun batal karena sangat berbahaya.
Bagi Wianta, seluruh hidupnya adalah kesenian. Ia tak pernah berhenti hanya di depan kanvas. Baginya, ketika ia tak sedang berada di depan kanvas, sesungguhnya alam dan seluruh hidup ini dipandangnya sebagai kanvas yang luasnya tak terbatas. Di sinilah kemudian ia menyadari bahwa jika hidup ialah tak memiliki batas, maka itu juga berarti kreativitas tak memiliki batas. Inilah mengapa karya-karya selalu penuh dengan ketakterdugaan.
Me-manage diri dan Kreativitas
Wianta sadar betul bahwa berkesenian bukan untuk diri-sendiri. Pengembaraan estetik dan mewujudkannya ke dalam visual harus menjadi penerimaan publik.
Ketika sebuah karya telah selesai dikerjakan, bagi Wianta, itu baru separuh selesai, separuh yang lain harus dikedepankan kepada publik luas. Baginya, komunikasi estetik bukan saja terjadi pada pekarya dan karyanya, melainkan—dan ini menjadi harus—komunikasi estetik itu terjadi pula antara karya seni dengan masyarakat.
Bagaimanapun, seniman memiliki tanggung jawab untuk mengantar masyarakat dalam pengenalan apresiasi seni.
Ketika sampai kepada pemikiran bahwa karya seni harus ‘diperlihatkan’ kepada publik, semula ia bergiat dengan pameran-pameran, baik tunggal maupun Bersama; tetapi jangkauan pemikirannya tidak berhenti sampai kepada ruang-ruang pameran, melainkan bagaimana dalam keseharian karya-karyanya juga dapat dinikmati para pecinta seni.
Di sini kemudian Wianta membuka dirinya untuk berghaul lebih luas, bukan hanya berteman kepada para seniman, melainkan lebih lagi. Ia bergaul dengan segala lapisan masyarakat. Dari pergaulan ini ia jadi tahu siapa yang benar—benar menjadi pecinta seni sejati.
Wianta me-manage dirinya sebaik mungkin. Ia sadar sebagai seniman, dirinya penuh percaya diri. Sedikit pun Wianta tak memiliki rasa minder dihadapan para pejabat, orang-orang kaya, kolektor dalam dan luar negeri. Ia malah sering mengundang mereka makan siang atau makan malam, baik di rumahnya maupun di restoran-restoran mahal.
Sambil makan siang atau makan malam, ia akan menuturkan konsepsi-konsepsi kreatifnya dalam berkarya, menceritakan kecenderungan tematik karya-karyanya yang paling mutakhir.
Denghan cara begitu, Wianta mengantar ‘calon-calon apresiannya’ ke dalam apresiasi yang benar. Ia membuka dirinya dalam hubungan proses kreatifnya, ia mengantar para apresiannya ke pintu gerbang karya-karyanya, dengan demikian mereka akan terbantukan dalam mengapresiasi karya-karya Wianta, juga sedikit memudahkan mereka dalam menjalin komunikasi estetik antara karya-karya Wianta dengan apresiannya.
Wianta sangat aktif bergaul dengan siapa pun. Dan ia sangat percaya diri, menempatkan hidup ini sebagai bagian dari keseniannya.
Pergaulan, bagi Wianta, adalah cara yang efektif memperkenalkan karya-karyanya. Ia sering mengundang para kolektor dan pecinta seni ke rumahnya sambal makan siang atau makan malam. Ia cukup paham tata krama pergaulan kelas menengah ke atas.
Tak jarang pula ia mengungkapkan konsep-konsep kreatifnya sambal melukis. Dengan demikian para pecinta seni yang kebetulan menyaksikan Wianta melukis menjadi lebih memahami dan menghayati karya-karya Wianta.
Namun di luar pergaulannya, dan manakala waktu begitu banyak dipunyainya, Wianta lebih asyik bertekun dan bersibuk diri di depan kanvas atau kertas. Dari situ bisa ‘lahir’ sesuatu ‘penemuan baru’ dari kecenderungan sebelumnya, atau puluhan sketsa-sketsa spontan di atas kertas. Dan jika ini mengasyikkan, Wianta bisa berhari-hari ‘tenggelam’ dalam proses kreatifnya. ia memang seniman ulet, Tangguh dan sangat diperhitungkan dalam kancah seni rupa nasional.
Buku-buku dan Perjalanan ke Luar Negeri
Wianta adalah penggemar buku. Semasa masih di Yogyakarta, ia suka membaca berbagai buku. Mungkin dari bacaan ini terinkubasi berbagai ide-ide yang mana sebagian telah ia tuangkan ke dalam kerja kreatifnya. mungkin karena saking gemarnya membaca buku, Wianta akhirnya paham betapa pentingnya mencatat diri dalam buku. Namun pada zamannya tidaklah mudah membikin buku. Jumlah penerbit terlalu sedikit, itu pun melalui seleksi yang ketat untuk dapat lolos diterbitkan menjadi buku.
Dalam perjalanan selanjutnya, dalam benak Wianta perkara buku harus terwujud nyata. Ketika ia memikirkan tentang membuat buku, teman-teman sezamannya belum ada berpikir ke arah sana. Inilah mengapa kemudian ia lebih dulu memiliki buku-buku ketimbang sejawatnya di bidang seni rupa. Hingga sebelum meninggalnya, Wianta telah memiliki sejumlah buku tentang kerja kreatifnya, di antaranya: Made Wianta: Art and Peace (2000), Made Wianta: The Soul of Calligraphy (2001), Made Wianta: Dream Land (2003), Wild Dog in Bali: The Art of Made Wianta dan beberapa lagi yang lain.
Made Wianta telah lama mengetahui bahwa cara lain membangun apresiasi adalah membukukan karya-karyanya. Ketika pecinta seni merasa sangat tidak mungkin memiliki karya-karyanya, mereka dapat mengapresiasi melalui buku-buku yang memuat karya-karyanya. Pemikiran ini telah terjadi ketika ia masih menjadi mahasiswa seni rupa di Yogyakarta. Obsesinya ini terus ia rawat dalam benaknya, hingga akhirnya suatu hari dalam hidupnya semua obsesinya tentang memiliki buku terwujud menjadi nyata. Buku-buku tentang Winata relatif mudah didapatkan di toko-toko buku di kota-kota besar.
Menyadari betapa pentingnya buku-buku, maka Wianta tak pernah melewatkan momentum-momentum penting dalam kerja kreatifnya. Segala tindakan kreatifnya ia ‘simpan’ dalam buku. Tak ada yang tak terbukukan dalam proses kreatifnya, terutama menyangkut peristiwa-peristiwa besar dalam kerja seninya, atau munculnya penemuan-penemuan baru dalam periode perjalanan keseniannya. Ketika karya-karyanya telah terawat di dalam sejumlah buku, maka karya-karyanya akan terus terapresiasi oleh public, dan terus terkenang sebagai ‘warisan’ seni yang tak akan lekang oleh waktu.
Hal paling penting dari bagian perjalanan keseniannya ialah ketika ia mendapat kesempatan melanjutkan dan menekuni studi seni rupanya di Brussels, Belgia pada tahun 1976. Dari sini ia menyerap seluruh karakter seni rupa Barat dan mendapatkan pemahaman yang komparatif dengan seni-seni Timur, terutama menjadi pembanding dengan kerja kreatifnya selama ini. Dari sinilah kemudian memunculkan hal-hal kreatif dalam keseniannya. Studi seninya di Brussels lebih membuka cakrawalanya tentang keluasan dunia seni dan berbagai kemungkinannya.
Menjelajah luar negeri menjadi obsesinya yang lain setelah buku-buku. Dan siapa sangka, semua obsesi dalam hidupnya terwujud konkret. Selanjutnya, wara-wiri ke luar negeri menjadi hal lumrah bagi Wianta, baik dalam kepentingan mengikuti hajatan seni rupa internasional maupun undangan dari pecinta seninya (para kolektornya), atau sekadar menghadiri lelang lukisan. Sebagai seniman yang penuh dengan gagasan-gagasan kreatif, tak sedikit para pecinta seni dari dalam dan luar negeri memiliki karya-karyanya. Tak jarang pula lukisan-lukisan Wianta diikutsertakan dalam lelang-lelang lukisan bersekala internasional.
Kini Wianta telah berpulang. Indonesia kehilangan seorang maestro asal Bali yang kaya akan gagasan, penuh semangat dan dinamis. Ia telah melakukan semua dalam kapasitasnya sebagai seniman besar, kini yang ia berikan kepada kita ialah warisan karya-karyanya yang dapat kita apresiasi, baik di studio seninya maupun lewat buku-bukunya yang memuat karya-karyanya. (Red/AJ)