JAKARTA, 2022/04/08
Matakompas.com-Kang Kendar menyampaikan pendapat nya mengenai Politik itu adalah hanya panggung sandiwara saja Pertarungan politik yang sesungguhnya ialah dalang di belakang layar dan hingga sekarang sang dalang belum juga muncul batang hidungnya. Pentas politik konyol,itu panggung sandiwara ibarat lagu yang berjudul Panggung Sandiwara. Syair lagu itu, antara lain, ceritanya mudah berubah-ubah. Ada peran wajar, ada pula peran berpura-pura. Ceritanya mudah berubah-ubah, bermula dari perebutan kekuasaan. Digelar kongres luar biasa lalu mempersoalkan legalitasnya. Ada yang kukuh mempertahankan legalitasnya, ada pula yang menyebutnya sebagai abal-abal. Ada yang membantah kudeta partai politik tertentu, tetapi kemudian tampil sebagai komandannya. Perang kata dan wacana belumlah cukup. Ceritanya masuk ranah hukum. Ada yang melaporkan ke polisi soal dugaan pemalsuan mukadimah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. Lawan politik mendaftarkan gugatan ke pengadilan negeri, menggugat mereka yang dituduh bertanggung jawab atas brutalitas demokrasi. Pada saat hampir bersamaan, ini menyangkut partai lain lagi, mereka yang terlibat konflik berkepanjangan malah mengaku lelah. Mereka memilih bersatu. Mereka menyapa satu sama lain sebagai sahabat, dalam nada guyon disebut sebagai teman berantam. Mereka bersatu untuk menatap masa depan. Politik yang membelah, tapi juga bisa menyatukan itu sarat dengan hiruk-pikuk. Yang gampang jadi rumit, yang transparan jadi gelap, dan yang gelap menjadi misteri. Ujung-ujungnya, jika kepentingan berbeda bertemu pada satu titik, tiba-tiba semua melihat cahaya di mulut lorong yang gelap. Politik sebagai panggung sandiwara itu mudah berubah, seperti kata lagu, karena ada peran wajar, ada pula peran berpura-pura. Dengan meminjam tabiat berbeda karakter ketika berada di panggung depan dan panggung belakang. Biasanya di panggung depan itu kebanyakan politikus mengenakan topeng, muka digincu, dan kata ditata agar elok dipandang. Itu pada saat mereka mampu menjaga akal waras. Lain lagi kalau tampil adanya apa, bukan apa adanya tanpa merawat akal waras. Saking menggebu-gebu, keluar ancaman akan mengirim santet. Apalagi mereka yang alumni Sukamiskin tampil di pangung politik sambil berteriak moral sampai urat leher mau putus. Padahal, mereka berada di Sukamiskin, penjara khusus koruptor di Bandung, karena persoalan moral alias terlibat korupsi. Panggung politik itu benar-benar kehilangan kendali peradaban di tangan orang-orang yang belum matang berpartai. Politik sebagai seni menggapai dan mempertahankan kekuasaan telah dipentaskan di atas panggung secara liar dan brutal. Kehilangan kendali peradaban itulah, saat tampil dalam panggung publik politik berkata bersatu, bersatu, bersatu, bahkan wajib aktif mempersatukan untuk kesejateraan. Kenyataan di dalam sangat miris, sudah lupa kerabat rekan teman dan saudara, bahkan tak jarang terang terangan sikut-sikutan satu sama lain. Ada penyakit yang kadang-kadang bahkan lebih hebat daripada rasa suku dan rasa daerah,yaitu penyakit kepartaian dan fanatisme
Tentu hal ini tidak tampak, maksudnya tidak terlihat jelas oleh kasat mata,ibaratnya mungkin lebih gampang cari cara melihat gondoruwo dan sejenisnya dari pada mengetahui arah politik.
Sebagai bangsa timur yang kental dengan norma norma keteladanan, kita wajib bisa menterjemahkan berlaku politik santun, dengan menjauhkan konsep politik kepentingan.
Intinya politik wajib tetap berjalan, cuma dengan merubah jadi perjuangan kearifan, politik tidak boleh dikubur karena tidak ada demokrasi tanpa partai. Politik merupakan satu-satunya pihak yang dapat menerjemahkan kepentingan dan nilai-nilai masyarakat ke dalam legislasi dan kebijakan publik yang mengikat. Peran itu tidak bisa dikudeta oleh masyarakat madani. Kita mendorong partai untuk dewasa menyelesaikan persoalan internal. Bagaimana bicara persatuan dan kesatuan bangsa jika internal partai tidak mampu merawat persatuan dan kesatuan.Tidak ada pemenang dalam sebuah konflik, yang pasti partailah yang kalah.
Diskusi dan dialog itulah yang kian menghilang dari tradisi partai politik. Pertukaran gagasan diganti dengan pertukaran kepentingan, dengan dalih motif ekonomi dan kekuasaan mulai mengingkari dan bahkan menginjak injak martabat ,harkat manusia, sekarang sudah mulai banyak yang tampil diatas panggung sandiwara politik