
DENPASAR, Matakompas.com – Jumlah pengaduan masyarakat ke Dewan Pers mengalami lonjakan signifikan pada 2025. Hingga 30 Juni 2025, total pengaduan yang masuk mencapai 625 kasus. Dari jumlah itu, baru 424 kasus (67,8 persen) yang dinyatakan selesai, sementara 201 kasus lainnya masih dalam proses penyelesaian.
Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi Kemitraan, Hubungan Antar Lembaga, dan Infrastruktur Dewan Pers, Rosarita Niken saat dalam acara bertajuk ‘Media Talks: Masa Depan Jurnalisme di Era AI’ yang digelar Direktorat Jenderal Komunikasi Publik dan Media, Kementrian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI di Aston Denpasar Hotel & Convention Center Jalan Gatot Subroto Barat, Pemecutan Kaja, Denpasar Barat, Selasa (9/9) siang.
Dalam paparannya, ia menguraikan bahwa sepanjang 2022 jumlah pengaduan mencapai 691 kasus. Sebanyak 663 kasus atau 95,9 persen berhasil dituntaskan, sementara 28 kasus masih berproses.
Setahun kemudian, 2023 peningkatan signifikan tercatat lagi dengan total 813 kasus, menjadikannya tahun dengan pengaduan tertinggi dalam periode itu. Dari jumlah tersebut, 794 kasus (97,7 persen) berhasil diselesaikan, sementara 19 kasus masih berjalan.
Pada 2024, jumlah pengaduan menurun menjadi 678 kasus. Tingkat penyelesaian kasus juga tinggi dengan 667 kasus (98,4 persen) tuntas, dan sisa 11 kasus dalam proses.
Tren berbeda terlihat pada 2025. Meski hingga pertengahan tahun jumlah laporan (625 kasus) tidak lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, jumlah kasus yang masih proses justru tergolong besar yakni mencapai 201 kasus, hal ini wajar mengingat juga masih ada beberapa bulan sebelum akhir tahun.
Dalam catatan Dewan Pers, Niken menerangkan, bahwa kasus yang masih berstatus dalam proses pada tahun berjalan biasanya akan dituntaskan pada tahun berikutnya.
Lebih jauh, Niken juga mengakui meningkatnya kasus pengaduan tahun ini menjadi perhatian serius, terutama karena banyak di antaranya berkaitan dengan pelanggaran kode etik jurnalistik. Mayoritas aduan masyarakat biasanya terkait berita yang tidak akurat, tidak berimbang, menyesatkan, hingga pelanggaran privasi dan kurangnya verifikasi.
“Banyak sekali masyarakat komplain. Berita itu belum dicek dan ricek, belum diverifikasi, tapi sudah ditayangkan atau sudah ditulis. Nah, disinilah kebanyakan komplain itu,” tambahnya.
Ia menegaskan solusi atas tingginya pengaduan terletak pada perlindungan kerja jurnalistik, peningkatan kapasitas wartawan, serta kolaborasi lintas pihak. “Kalau mengatakan ada proteksi jurnalistik, ya pasti itu tidak akan dipermasalahkan. Kemudian juga peningkatan kapasitas jurnalis, kegiatan seperti sekarang ini (acara media talk) saya rasa juga sangat bagus sekali. Kami dari Dewan Pers juga ingin menyerap masukan dari teman-teman media untuk kebaikan kita semua,” tegasnya.
Selain itu, ia menilai kolaborasi antara pemerintah, lembaga pers, dan ekosistem media perlu terus diperkuat agar kualitas produk jurnalistik semakin meningkat.
Soal lonjakan pengaduan, Niken juga menyinggung wacana mengenai perlindungan hak cipta atau ‘property right’ atas informasi. Menurutnya, banyak jurnalis menginginkan adanya regulasi khusus yang melindungi karya jurnalistik dalam bentuk informasi layaknya royaliti lagu tapi ini dalam bentuk informasi atau news.
“Ini baru wacana, masih jauh sekali. Tapi sesuatu itu harus dimulai. Satu langkah kita mulai, ya nanti kita berjuang bersama-sama,” katanya.
Ia menegaskan bahwa upaya merumuskan property right tersebut perlu dilakukan bersama-sama dengan melibatkan akademisi, pemerintah, media, dan para jurnalis. Dengan demikian, selain menyelesaikan lonjakan aduan yang terus berdatangan, Dewan Pers juga berusaha mempersiapkan regulasi ke depan agar karya jurnalistik tetap terlindungi dan memiliki kepastian hukum. (Red)