Daerah

DPRD Bali Akan Undang Bendesa Agung Terkait Polemik MDA

DENPASAR, Matakompas.com – Forum Komunikasi Bhinneka Hindu Bali (FKBHB) mendatangi Gedung DPRD Bali untuk menyampaikan aspirasi menyikapi polemik tentang tugas pokok dan fungsi Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali di Denpasar, Senin (4/8).

Hal itu disampaikan Koordinator FKBHB Wayan Sayoga didampingi Sekretaris I Ketut Sae Tanju.

Aspirasi diterima oleh Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali, I Komang Nova Sewi Putra, Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali I Nyoman Suwirta, S.Pd, M.M. dan Ketua Komisi I Provinsi Bali I Nyoman Budi Utama, SH.

FKBHB merupakan aliansi organisasi mahasiswa dan pemuda Hindu di Bali yang terdiri dari DPP Persadha Nusantara Provinsi Bali, DPD Prajaniti Hindu Indonesia Provinsi Bali, Pimpinan Daerah KMHDI Provinsi Bali serta Aliansi Pemuda Hindu Bali (APHB) Provinsi Bali.

Hadir pula dalam kesempatan tersebut, Patajuh Bandesa Agung Bidang Hukum dan Wicara Adat Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Dr. Dewa Nyoman Rai Asmara Putra,SH.,M.H, serta Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra, S.H.M.H.

Hal ini untuk menyikapi polemik tentang tugas pokok dan fungsi Majelis Desa Adat Provinsi Bali dalam beberapa hal diantaranya yang menyangkut pengadegan (pengukuhan) Bandesa Adat terpilih Desa Adat di Provinsi Bali serta hal-hal terkait lainnya, yang sifatnya substantif dan mendesak, dengan menyampaikan 10 petisi demi perbaikan Majelis Desa Adat Provinsi Bali serta terciptanya kembali keteduhan tata-titi kehidupan masyarakat hukum adat di Bali sesuai dengan Desa, Kala, Patra serta menjunjung tinggi Desa Mawacara, Negara Mawatata.

Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada pasal 73 angka 1, 2, dan 3, maka DPRD Provinsi Bali memiliki kewenangan untuk memanggil para pihak dalam suatu rapat dengar pendapat.

 

Petisi yang diterima oleh Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali, I Komang Nova Sewi Putra, Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali I Nyoman Suwirta, S.Pd, M.M. dan Ketua Komisi I Provinsi Bali I Nyoman Budi Utama, SH. berisi 10 poin pernyataan sikap, antara lain:

1. Mendesak DPRD Provinsi Bali untuk melaksanakan salah satu fungsi pengawasannya dengan segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali serta Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali mengingat telah terjadi polemik yang berkepanjangan di tengah masyarakat;

2. Mengajak semua pihak untuk merenungkan kembali landasan filosofi, sejarah dan sosiologis Desa Pakraman yang sekarang disebut sebagai Desa Adat yang telah dirancang oleh Mpu Kuturan yang datang ke Bali pada saat rahina Buda Kliwon Pahang Icaka warsa 923 tahun 1001 Masehi dimana menurut Kuturan Tatwa, dalam Mahasabha di Pura Samuan Tiga beliau-lah yang mencetuskan istilah Desa Pakraman. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang mengandung makna tidak wajib mencantumkan frasa “adat” secara eksplisit, tetapi aturan di bawahnya harus mengandung substansi yang selaras dengan makna dan semangat pasal 18 B ayat (2) dimaksud;

3. Mendesak segenap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali untuk segera melakukan harmonisasi hukum terhadap Perda Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat dengan UU Nomor 15 tahun 2023 tentang Provinsi Bali. Berdasarkan fakta-fakta empiris yang terjadi pada Desa-Desa Adat di Bali, ada disharmoni yang diakibatkan oleh interpretasi serta implementasi yang keliru dari pelaksanaan AD/ART MDA oleh pemangku kepentingan pada lembaga Majelis Desa Adat (MDA) yang tidak sesuai dengan semangat Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat;

4. Berkaitan dengan poin 3 (tiga) diatas, maka kami mendesak DPRD Provinsi Bali bersama Gubernur Bali melakukan revisi terhadap Perda No 4 Tahun 2019 dengan mencantumkan secara tegas Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai dasar pertimbangan pada konsiderans “Mengingat” sehingga menjadi jelas bahwa Perda yang bersangkutan adalah wujud rekognisi negara terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, bukan untuk membuat lembaga atau kesatuan masyarakat hukum baru yang berada di bawah kendali rezim yang berkuasa;

5. Sebagai konsekwensi yuridis dari poin 4, maka MDA harus segera merevisi AD/ART-nya. Sebagai contoh dalam salah satu pasal; yakni pasal 49 ayat 2 AD/ART MDA ada disebutkan “Desa Adat telah menyerahkan sebagian kewenangan Desa Adat kepada MDA” serta ayat 3 disebutkan “MDA melaksanakan kewenangan yang diserahkan oleh Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”. Bahasa hukum ini ternyata telah mengganggu kemandirian dan hak asal-usul keberadaan masing-masing Desa Adat di Provinsi Bali. Pasal ini tidak sesuai dengan pasal 18 B Ayat 2 UUD 1945 dan patut diduga pasal inilah yang diinterpretasikan secara keliru oleh oknum-oknum di MDA Provinsi Bali;

6. Berkaitan dengan poin 5 diatas, AD/ART MDA sifatnya hanya mengikat kedalam organisasi MDA semata-mata. MDA tidak punya kewenangan apapun memberikan perintah kepada Prajuru Desa Adat, pecalang serta instrumen adat lainnya;

7. Meminta MDA untuk berhenti melantik atau mengukuhkan Prajuru Desa Adat dan berhenti untuk mengeluarkan Surat Keputusan (SK);

8. Kembalikan PRABAWA/MARWAH MDA sebagai lembaga Pasikian Desa Adat. Sebagai forum Bandesa Adat, MDA bukan atasan Bandesa Adat demikian sebaliknya, Bandesa Adat bukan bawahan MDA. Kepemimpinan MDA di semua tingkatan harus diisi oleh para prajuru Desa Adat dan atau pernah menjabat sebagai prajuru Desa Adat, bukan atas nama orang-perorangan;

9. Musyawarah dalam Ngadegang Bandesa Adat adalah sesuai dengan hak tradisional dan susunan asli-nya harus dibiarkan murni menjadi urusan Desa Adat;

10. Sebagai tindak lanjut teknis dari poin 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7,8, dan 9 kini saatnya negara harus hadir melalui Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Pemerintah Provinsi Bali untuk melakukan pengawasan dan memastikan tertib Administrasi secara tekstual dan kontekstual dalam tata naskah AD/ART MDA, tertib administrasi kependudukan, surat menyurat dan keputusan MDA sehingga sesuai dengan identitas resmi kenegaraan berdasarkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang sah dan menolak ada upaya membangun feodalisme atas ambisi oknum tertentu yang tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan dan penghormatan kepada Hak Asasi Manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana ditegaskan dalam pasal 27, pasal 28 huruf A sampai dengan J, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.

Sebelum penyerahan petisi, dilakukan dialog yang bersifat keluargaan dimana perwakilan dari FKBHB, MDA, Dinas PMA dan perwakilan dari masing-masing Fraksi terkait, sepakat untuk melakukan revisi untuk penyempurnaan, khususnya terkait dengan salah satu pasal; yakni pasal 49 ayat 2 AD/ART MDA ada disebutkan “Desa Adat telah menyerahkan sebagian kewenangan Desa Adat kepada MDA” serta ayat 3 disebutkan “MDA melaksanakan kewenangan yang diserahkan oleh Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”. AD/ART MDA sifatnya hanya mengikat kedalam organisasi MDA semata-mata. Dan mengembalikan PRABAWA/MARWAH MDA sebagai lembaga Pasikian Desa Adat. Sebagai forum Bandesa Adat, MDA bukan atasan Bandesa Adat demikian sebaliknya, Bandesa Adat bukan bawahan MDA. Kepemimpinan MDA di semua tingkatan harus diisi oleh para prajuru Desa Adat dan atau pernah menjabat sebagai prajuru Desa Adat, bukan atas nama orang-perorangan. Komisi I & IV DPRD Provinsi Bali sepakat untuk segera memanggil Ketua MDA untuk rapat dengar pendapat (RDP).

Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali I Nyoman Suwirta memberikan apresiasi atas masukan dari FKBHB dalam perbaikan kualitas desa adat dan MDA.

“Apalagi sudah menyampaikan 10 petisi serta isinya sudah sering juga diperbincangankan dalam media sosial,” ungkap Suwirta.

Untuk itu, pihaknya Komisi I dan IV DPRD Bali akan kembali mengundang Bendesa Agung MDA Bali.

Dengan hal tersebut, diharapkan desa adat makin kuat sesuai dengan komitmen Gubernur Bali Wayan Koster dalam melestarikan adat dan budaya Bali.

Upaya itu dalam mencegah terjemahan Perda Desa Adat yang tidam tepat. Perda (Perda Desa Adat-red) tidak salah, maka implementasi juga agar tidak salah” pungkasnya (Red/01)

  Banner Iklan Rafting Jarrak Travel

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button