Daerah
Trending

Didesak Pansus TRAP DPRD Bali, BPN Sepakat Batalkan Sertifikat di Wilayah Konservasi Demi Masyarakat dan Alam Bali

DENPASAR | Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang, Aset Daerah dan Perizinan (TRAP) DPRD Provinsi Bali resmi menyerahkan dokumen 106 sertifikat tanah bermasalah di kawasan Tahura Ngurah Rai dan Mangrove.

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali serta Polda Bali menerima dokumen 106 Sertifikat Tanah Bermasalah, Senin, 29 September 2025.

Langkah ini menjadi bagian dari tindak lanjut Pansus dalam menegakkan Peraturan Daerah (Perda) dan regulasi Tata Ruang, Perizinan serta perlindungan Aset Daerah.

Ketua Pansus DPRD Bali I Made Supartha memimpin Rapat Gabungan, yang berlangsung hampir lima jam di Ruang Rapat Gabungan Lantai III Gedung DPRD Bali, Senin, 29 September 2025.

Turut hadir, Anggota DPRD Bali,

 perwakilan Polda Bali, Kejati Bali, Komisi I DPRD Kota Denpasar, Komisi I DPRD Kabupaten Badung, Satpol PP Bali, Dinas PUPR, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Dinas Kelautan dan Perikanan, perwakilan BPN, Balai Wilayah Sungai Bali-Penida, UPTD Tahura Ngurah Rai serta pemerhati lingkungan, kelompok nelayan hingga pakar hukum Prof. I Kt Sukawati Lanang Putra Perbawa.

Made Supartha menegaskan rapat kali ini menghasilkan kesepakatan penting, yaitu gerakan bersama lintas sektor untuk mengembalikan fungsi konservasi di wilayah pesisir Bali.

 

“Dalam rapat Pansus tadi yang luar biasa dari seluruh lembaga yang kita undang, semua sepakat membuat satu gerakan bersama untuk kepentingan menjaga Bali dan masyarakat Bali,” ujarnya.

Menurutnya, fungsi mangrove harus dikembalikan sebagai kawasan lindung agar tetap mampu menyerap air, menyalurkan limpasan hujan ke laut, serta melindungi daratan dari gerakan air laut.

Sebagai langkah awal, Pansus menyerahkan dokumen terkait penerbitan 106 sertifikat di kawasan Tahura kepada aparat penegak hukum.

 Sertifikat tersebut dinilai bermasalah karena terbit di wilayah konservasi.

“Yang kami serahkan tadi dokumen 106 sertifikat, dan dokumen-dokumen lainnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah pesisir mangrove, dan kemudian dokumen-dokumen lainnya terkait terindikasi pelanggaran tata ruang perizinan dan aset di seluruh Bali,” kata Anggota Komisi I DPRD Bali itu.

Ia menyebut secara regulasi jelas tidak membolehkan adanya sertifikat di wilayah konservasi, baik melalui konversi maupun pemberian hak. Proses penerbitan pun diduga sarat pelanggaran karena tidak disertai pengumuman ke masyarakat sebagaimana mestinya.

“Kalau pemberian hak itu artinya tanah negara dulunya, tanah negara itu kemudian dikuasai 20 tahun baru diberikan sertifikat. Pertanyaannya, apakah orang bisa hidup di mangrove 20 tahun? Kalau dia nelayan mungkin, tapi kalau dia bukan nelayan dikasih sertifikat. Nah, itu terindikasi sudah pelanggaran,” tegas Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali ini.

Di luar masalah 106 sertifikat, Pansus juga menemukan kasus lain di kawasan yang beririsan dengan mangrove, termasuk lahan seluas 60 are, 70 are, hingga 28 are yang disewa pabrik manufaktur milik investor Rusia di Tahura Bypass Ngurah Rai.

 Kasus ini disebut masih dalam pendalaman dan bisa dibatalkan jika terbukti dokumen perizinannya tidak sah.

Disinggung bangunan yang berdiri di lahan dari 106 sertifikat itu, Made Supartha mengungkapkan sebagian besar sudah beralih fungsi untuk kegiatan industri maupun perdagangan.

Made Supartha menegaskan, tata ruang provinsi maupun peraturan perundang-undangan di atasnya sudah jelas menetapkan Tahura sebagai kawasan konservasi dan hutan lindung. Dengan status itu, segala bentuk pemanfaatan ruang untuk industri, perdagangan, maupun jasa dinilai bertentangan dengan aturan.

“Dari yang 106 sertifikat itu khan terindikasi sudah ada kegiatan industri. Ada kegiatan perdagangan. Maka itu tadi sepakat dengan DPRD yang ada di Denpasar dan Badung, nanti coba kita evaluasi RDTR-nya rencana detail tata ruang,” sebutnya.

Ia menekankan, tidak boleh ada perbedaan antara RDTR kabupaten/kota dengan tata ruang provinsi maupun undang-undang nasional. Menurutnya, jika tata ruang provinsi menyatakan wilayah tersebut sebagai kawasan konservasi, maka RDTR di tingkat bawah harus menyesuaikan.

“Kalau tata ruang provinsi dan undang-undang di atasnya menyatakan itu wilayah konservasi, wilayah lindung, ya memang tidak boleh detailnya itu sebagai kegiatan perdagangan dan industri dan jasa. Tidak boleh bertentangan. Maka itu evaluasi,” sentilnya.

Selain itu, ia juga menyebut berbagai pelanggaran tata ruang yang harus juga dicermati seperti pembangunan di sempadan sungai, danau, dan pantai yang jelas-jelas dilarang.

 Ia menegaskan aturan sudah mengatur batas sempadan, 100 meter dari laut, 50 meter dari danau, dan 5 meter dari sungai. Karena itu, pihak kejaksaan dan kepolisian bersama Satpol PP telah mengambil langkah hukum.

“Seluruh pelanggaran yang ada di ruang-ruang tata ruangnya, tidak boleh membangun di tebing, tidak boleh membangun di sempadan sungai, tidak boleh membangun di sempadan danau, tidak boleh membangun di sempadan pantai. Ada regulasinya semua. Itu akan dilakukan proses-proses pro justisia (demi hukum atau demi keadilan) oleh pihak penegak hukum,” kata Made Supartha.

Ia mencontohkan, beberapa pengembang di kawasan Tukad Balian, Renon, bahkan sudah ditutup karena menyalahi aturan ruang terbuka hijau, lahan sawah dilindungi (LSD) dan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

 Pansus, lanjutnya, berkomitmen menjalankan arahan Gubernur Bali Wayan Koster dalam konsep Nangun Sat Kerthi Loka Bali dengan menjaga tata ruang, perizinan, dan aset agar tidak disalahgunakan.

Dalam rapat ini, pakar hukum dan pertanahan yang dihadirkan menegaskan dasar hukum pembatalan sertifikat bermasalah harus sejalan dengan fakta lapangan.

Opsi pembatalan bisa dilakukan langsung oleh BPN, melalui kesadaran masyarakat, atau melalui proses hukum.

“Intinya, prinsipnya adalah membuat gerakan untuk mengamankan Bali, menjaga Bali terkait akibat hujan dan sebagainya, yang terindikasi sebagai kekuatan alam,” tukasnya.

Sementara itu, Kejati Bali juga telah resmi memulai penyelidikan terkait dugaan penerbitan sertifikat bermasalah di kawasan konservasi, termasuk 106 sertifikat di wilayah Tahura yang menjadi sorotan publik ini.

 Penyelidikan dilakukan untuk menguji ada tidaknya perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, atau potensi kerugian negara dalam proses penerbitan sertifikat tersebut.

Kasi Pengendali Operasi pada Bidang Tindak Pidana Khusus Kejati Bali, Dr AA Ngurah Jayalantara menjelaskan saat ini proses pengumpulan data sedang berlangsung.

“Sudah dimulai pengumpulan data, baru dimulai pengumpulan data. Ini kan gayung bersambut jadi disini kan lengkapi dulu,” ucapnya.

Menurut Jayalantara, tim kejaksaan masih mendalami apakah terdapat indikasi pelanggaran hukum atau penyalahgunaan kewenangan dalam kasus tersebut.

“Apakah ada indikasi PMH-nya (perbuatan melanggar hukum) atau penyalahgunaan kewenangan, atau merugikan keuangan negara atau menguntungkan orang lain, nah itu nanti akan dianalisa oleh tim, nanti akan diekspos ke pemerintahan juga,” jelasnya.

Ia menambahkan, masa penyelidikan dibatasi 30 hari dan dapat diperpanjang bila diperlukan. Penyelidikan ini sudah berjalan sekitar dua minggu terakhir. Sejumlah pihak yang dianggap relevan dengan proses pemberian izin juga telah dimintai keterangan.

Namun, ketika ditanya siapa saja yang sudah di periksa dan berapa jumlahnya, Jayalantara belum dapat memberikan informasi karena masih tahap penyelidikan lebih dalam.

“Sudah, bukan saksi ya, permintaan keterangan beberapa pihak. Ada beberapa, ya yang berkaitan dengan proses pemberian izin,” kata Jayalantara.

Meski sorotan utama publik tertuju pada 106 sertifikat di Tahura, Kejati Bali mengakui juga memperluas penyelidikan ke sejumlah kabupaten lain.

“Bukan hanya itu aja, ada beberapa tempat di kabupaten lainnya juga ada,” singkatnya, seraya menjelaskan Hal ini untuk memastikan bahwa praktik serupa tidak terjadi di daerah lain.

Soal kasus ini berpotensi masuk ranah tindak pidana korupsi, Jayalantara menyebut analisis masih berjalan.

“Ada indikasi melanggar UU Tipikor? Nah itu nanti kita analisa, sabar ya bagaimana hasilnya, nanti kan ada eksposnya, pengumuman dari teman-teman kejaksaan,” tukasnya.

Langkah Kejati Bali yang mulai melakukan penyelidikan terkait dugaan penerbitan sertifikat di kawasan konservasi mendapat dukungan dari berbagai kalangan.

Proses hukum dinilai menjadi momentum penting untuk membongkar praktik penyimpangan tata ruang yang sudah berlangsung sejak lama.

Pakar hukum, Prof Lanang Perbawa, menegaskan bahwa semua pihak yang terlibat dalam penerbitan sertifikat di kawasan konservasi harus bertanggung jawab. Ia menilai aspek administrasi maupun pidana bisa diuji sesuai koridor hukum.

“Kalau misalnya di administrasi sudah prosesnya harus tadi secara formal materi tidak perlu bisa dibatalkan. Kalau masalah pidana silakan juga itu ruang pidana. Jadi semua yang melakukan perbuatan hukum harus bertanggung jawaban secara hukum,” kata Guru Besar Hukum Pemilu ini.

Lanang menekankan, apabila dalam proses tersebut terbukti ada abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan, maka pihak yang terlibat wajib dimintai pertanggungjawaban.

 Ia juga mempertanyakan bagaimana mungkin kawasan Tahura yang jelas-jelas merupakan milik negara bisa diterbitkan sertifikat hak milik.

“Sebenarnya namanya Tahura itu kan pasti sudah milik negara, masyarakat. Kenapa bisa jadi punya sertifikat, nah ini yang harus ditanyakan. Harus dengan data-data. Kalau hukum kan data dan fakta tentunya,” tutur Rektor Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar itu.

Ketua Fraksi Gerindra-PSI DPRD Bali, I Gede Harja Astawa, menyebut langkah Aparat Penegak Hukum (APH) yang mulai bergerak merupakan terobosan yang patut diapresiasi.

“Hal-hal yang terindikasi ke proses pidana, pasti kita akan memberikan rekomendasi itu, jika memang ada indikasi ke sana. Kemudian, masalah ini kan istilahnya sudah sejak dulu ada, cuma ini momen untuk membongkar semua,” ujarnya.

Menurut Harja, Bali memang terbuka bagi investor, namun investasi yang diterima harus memiliki rekam jejak yang baik dan tidak merusak lingkungan. Ia menegaskan pansus dibentuk karena adanya urgensi besar yang harus segera diselesaikan.

“Masa kerja pansus ini yang hanya enam bulan diharapkan cukup untuk memberikan dampak nyata bagi penegakan hukum tata ruang, perizinan, maupun aset daerah,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua Fraksi Demokrat-Nasdem DPRD Bali, Dr Somvir menekankan pentingnya menjaga Sumber Daya Alam Bali sebagai kunci untuk menjamin kehidupan masyarakat yang aman dan damai di masa depan.

“Saya kira apa yang kemarin kita harapkan bahwa bagaimana Bali 100 tahun ke depan bisa aman, damai, dan hal-hal itu baru bisa kalau hutan kita, air kita, laut kita, sawah kita itu bisa dijaga dengan baik,” urainya.

Somvir menambahkan, instansi terkait sudah menyatakan komitmen untuk mengambil langkah yang benar dalam menangani persoalan ini.

“Kami berharap proses penegakan hukum bisa berjalan tegas terhadap pihak yang bersalah, sekaligus tetap melindungi pihak yang tidak bersalah,” tutupnya. (red/tim).

  Banner Iklan Rafting Jarrak Travel

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button