Putu Suasta, Alumnus UGM dan Cornell University
Menteri Sosial, Tri Rismaharini, membuat kita tersentak beberapa hari lalu. Melalui verifikasi data, Risma menemukan 31.624 aparatur sipil negara (ASN) tercatat sebagai penerima bansos (kompas.com, 19/11/21).
Temuan Risma bisa menjadi kado akhir tahun yang pahit bagi bangsa ini. Tapi seperti meminum obat, rasa pahit sering mengiringi proses penyembuhan.
Sistem pendaataan yang buruk merupakan penyakit kronis di negeri ini dan merupakan faktor utama mengapa kita begitu sulit l melangkah jauh dalam pengentasan kemiskinan secara khusus, dalam pembangunan secara umum.
Antara Statistik dan Realitas
Capaian pengentasan kemiskinan selama puluhan tahun di negeri ini hanya bisa kita raba-raba melalui perubahan-perubahan beberapa angka dalam statistik yang hanya mendapat perhatian di musim kampanye politik.
Bahkan sekarang cukup beralasan meragukan kesahihan angka-angka dalam statistik tersebut setelah Risma membuat kita tersentak.
Para politisi sering mempertontonkan penurunan angka kemiskinan melalui statistik sebagai bagian dari bahan kampanye, tapi dalam pengamatan kita secara langsung dalam kehidupan sehari-hari sulit sekali menemukan perubahan yang berarti.
Sekalipun data kependuduk telah menjadi penyakit kronis selama puluhan tahun, tak pernah ada upaya sunguh-sungguh untuk menyembuhkannya. Perbaikan sistem pendataan dan pengelolaan data belum pernah menjadi prioritas pembangunan di negeri ini.
Sektor tersebut memang kalah populis dengan pembangunan jalan tol, bendungan, kreta cepat dan berbagai pembangunan raksasa lainnya yang sering kita gembor-gemborkan.
Tapi tanpa data-data kependudukan yang lengkap dan akurat, pembangunan di bidang apapun akan sangat keropos, seperti membangun rumah dengan fondasi pasir.
Pengentasan kemiskinan tidak akan mungkin dapat disukseskan jika kita tak memiliki data lengkap dan akurat. Lebih jauh, pembangunan fisik secara besar-besaran akan gagal mencapai misinya yakni mendistribusikan kesejahteraan jika kita tidak memiliki data valid siapa yang mesti diprioritaskan menjadi sasaran distribusi tersebut.
Justru jurang antara penduduk sejahtera dan penduduk miskin akan semakin lebar jika pembangunan infrastruktur secara besar-besaran tidak didahului dengan penanganan problem dasar yang telah puluhan tahun menjadi aral kemajuan bangsa ini.
Di abad ini, contoh sukses pengentasan kemiskinan secara eksponensial ditunjukkan China. Tapi kita lebih sering terpana dan terobsesi dengan pembangunan spektakuler fasilitas-fasilitas fisik di China dan lebih tertarik menirunya daripada terlebih dahulu belajar bagaimana China menangani pendataan penduduknya yang berjumlah lebih 1 milyar sehingga pembangunan mereka benar-benar efektif menjembatani distribusi kesejahteraan.
China berhasil mengangkat 800 juta penduduknya dari garis kemiskinan hanya dalam kurun waktu sekitar 3 dekade. Jumlah tersebut kira-kira setara dengan 3 kali jumlah penduduk Indonesia. Selain China, belum ada contoh negara yang berhasil mengentaskan kemiskinan dalam skal eksponensial seperti itu.
Karena itulah model pembangunan China kemudian menjadi sorotan hampir di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
The New York Times menurunkan liputan khusus secara berseri pada tahun 2018 tentang capaian menakjubkan China, dengan judul salah satu artikelnya “The Land That Failed to Fail” (nytimes.com, 18/11/18).
Sebagaimana dikilas balik The New York Times, hingga awal tahun 1980-an China lebih menunjukkan ciri-ciri calon negara gagal dengan penduduk terbanyak di dunia di mana lebih dari 50 % hidup di bawah garis kemiskinan. Setelah Revolusi Kebudayaan, sekitar 1984 mereka merumuskan pembangunan seperti apa yang akan dijalankan.
Mereka terlebih dahulu memutakhirkan pendataan dan membuat pemetaan demografi sebagai dasar mendesain pembangunan yang benar-benar sesuai kebutuhan masyarakat.
Mereka membuka diri pada pasar dan kemajuan teknologi Barat, tetapi tidak tunduk pada kapitalisme global dan tidak mau didikte oleh para teknokrat Barat. Dengan model pembangunan yang tepat, China justru berhasil membuat negara-negara Barat jadi pelayan kepentingan mereka, bukan menjadi tuan yang mendikte.
Karena itulah mereka tidak hanya gagal menjadi negara gagal (meminjam bahasa The New York Times), tetapi lebih dari itu menjadi negara paling berpeluang melampaui capaian ekonomi dan pembangunan Amerika Serikat.
Kendala Iklusi Keuangan
Cara China membuat dasar yang kokoh pada pembangunan semestinya terlebih dahulu ditiru para teknokrat dan para politisi kita sebelum terobsesi meniru agresivitas pembangunan negeri tirai bambu tersebut. Untuk membuat perbandingan lebih konkrit, mari kita kembali pada persoalan bansos yang diangkat Risma.
Sebagian besar penyimpangan dana basos ke penerima yang tidak layak terjadi karena masih banyaknya masyarakat Indonesia yang tak memiliki akses ke fasilitas keuangan non-tunai. Pandemi Covid-19 membuat permasalahan ini lebih kentara.
Penyaluran berbagai bentuk bantuan sosial melalui Bank di selama masa pandemi memberi celah bagi oknum-oknum tak bertanggungjawab (termasuk ASN yang dituding Risma) untuk memamfaatkan kelemahan masyarakat miskin dalam akses keuangan. Karena calon penerima tidak memiliki rekening Bank, para oknum memasukkan data-data diri, keluarga atau kerabat mereka sebagai pengganti.
Dalam artikel lain saya pernah mengulas bagaimana China menyukseskan iklusi keuangan hingga ke lapisan terbawah: para pedagang kaki lima, petani di pelosok, para buruh, hingga nelayan di pesisir terpencil.
Tanpa iklusi keuangan, masyarakat miskin akan lebih sering menjadi komoditi politik daripada menjadi target pembangunan.
Dalam beberapa tahun terakhir, capaian-capaian dalam program iklusi keuangan kerap dipertontonkan. Sekali lagi, temuan Risma menyadarkan kita bahwa pekerjaan di bidang iklusi keuangan masih jauh dari kategori berhasil di negeri ini.
Dalam hal ini lemahnya data kependudukan juga merupakan biang kerok. Tanpa data-data yang sahih, akan sulit menjalankan program iklusi keuagan yang benar-benar menjangkau masyarakat pada lapisan terbawah.
Dalam perspektif inilah kita dapat melihat betapa keroposnya fondasi pembangunan yang kita gembor-gemborkan dalam beberapa tahun terakhir.