Agung Widiada Minta Kader Partai Nasdem Bali Teladani Nilai Filosofis Buku Singgasana Battisi

DENPASAR, Matakompas.comĀ | Sang Penulis, Prof. Gautam Kumar Jha hadir langsung dalam acara Diskusi dan Bedah Buku Singgasana Battisi Takhta 32 Bidadari, Kisah-Kisah Agung Sang Raja Vikramaditya.
Sebagai Pakar Studi Asia Tenggara dari Jawaharlal Nehru University, New Delhi, India, Prof. Gautam Kumar Jha hadir bersama Tokoh Publik, Dr. Somvir yang juga Anggota DPRD Provinsi Bali.
Menariknya, Acara Diskusi dan Bedah Buku Singgasana Battisi Takhta 32 Bidadari dilaksanakan di Markas Besar Partai Politik (Parpol, khususnya Partai Nasdem Bali, tepatnya berada di Auditorium Partai Nasdem Bali, Jalan Cok. Agung Tresna No. 25, Renon, Denpasar, Selasa, 12 Agustus 2025.
Ketua Bapilu DPW Partai
Nasdem Bali, Anak Agung Ngurah Gede Widiada menyatakan, bahwa Ballroom Partai Nasdem Bali didirikan oleh Ketum Partai Nasdem Surya Paloh bagi siapapun berniat baik, yang melakukan kegiatan baik.
“Kali ini, kami dari Partai Nasdem Bali berkolaboratif dengan tokoh-tokoh intelektual, spritual, partai politik dan tokoh lintas profesi. Kami merasa gedung ini diberikan kehormatan, karena bagaimanapun juga Ketum selalu memberikan saran bahwa gedung ini diperuntukkan bagi masyarakat Bali,” kata Agung Widiada.
Meski Kantor Partai Nasdem Bali diperuntukkan untuk kegiatan partai, namun juga digunakan buat kegiatan masyarakat Bali bernilai positif, seperti acara Diskusi dan Bedah Buku Singgasana Battisi Takhta 32 Bidadari.
“Acara itu berikan pesan keteladan, kejujuran dan manfaat filosofis apa yang disampaikan tadi dalam buku ini,” terangnya.
Sebagai kader partai dan bernaung dibawah gedung ini, Agung Widiada berharap pihaknya tetap berupaya menjaga keakraban sesama Partai Politik (Parpol) di Bali, yang dilandasi etika, moral dan budaya malu.
“Kita ingin politik itu dilandasi oleh etika dan moral, karena Surya Paloh kemarin dalam Rakernas di Sulawesi menekankan berkali-kali bagaimana kita kader-kader Partai Nasdem ini untuk mampu memiliki budaya malu terkait dengan integritas,” paparnya.
Politik yang berlandaskan etika dan moral itu, lanjutnya sejalan dengan nafas buku yang dibedah hari ini dan didedikasikan buat kepentingan masyarakat Bali.
Diharapkan, vibrasi buku ini bisa dibaca oleh kader-kader Partai Nasdem Bali dalam menjalani aktivitas politik.
“Jangan hiruk pikuk-lah. Kita damai, suasana guyub sebagaimana kehidupan masyarakat Bali, tapi etika dan moralitas jangan dilupakan dalam berpolitik,” tegasnya.
Acara Diskusi dan Bedah Buku Singgasana Battisi dipandu oleh Akademisi, Penulis asal Bali dan juga Pimpinan Canakya Academy, Dr. Ni Kadek Surpi Arya Dharma.
Kehadiran para Narasumber diharapkan mampu membuka ruang dialog yang kaya akan perspektif, mempertemukan khazanah sastra klasik dengan tantangan dunia modern.
“Melalui bedah buku ini, kami ingin menunjukkan bahwa kisah-kisah klasik tidak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga sumber nilai dan kebijaksanaan yang relevan untuk membentuk kepemimpinan yang berintegritas di masa kini,” terangnya.
Dengan tegas, Dr. Ni Kadek Surpi Arya Dharma menyebutkan bahwa Singgasana Battisi Takhta 32 Bidadari merupakan buku politik dan kepemimpinan. Awalnya, buku ini rencananya diluncurkan di dua tempat, yaitu Gedung DPRD Provinsi Bali dan Kantor Gubernur Bali.
“Karena buku ini bernuansa politis, hanya saja dia penulisannya dalam bentuk cerita seolah-olah fiksi, tapi sebenarnya tidak,” terangnya.
Dibuat seperti itu, maksudnya, agar buku itu menarik. Apalagi dalam kata pengantar sudah dicantumkan, bahwa sesungguhnya termasuk buku politik.
“Kami ingin berkolaborasi dengan semua pihak, lintas partai sekalipun, sebagai anggota DPRD itu biasanya khan memang sudah tidak terikat terlalu panjang dengan baju dan bergaul dengan siapapun,” urainya.
Tak hanya itu, Dr. Ni Kadek Surpi menyatakan kesiapannya jika nanti buku Singgasana Battisi direncanakan akan dibedah di banyak tempat, termasuk Partai Politik (Parpol).
“Ternyata Parpol Nasdem Bali yang sangat responsif menyambut Bedah Buku Singgasana Battisi,” tambahnya.
Bahkan, nilai-nilai luhur yang tercantum didalam Buku Singgasana Battisi justru akan menjadi guide line bagi para politisi.
“Seandainya para politisi kita berlandaskan pada gerakan akan kebenaran, kebajikan dan kepentingan masyarakat, tentu kita akan memiliki cakrawala politik yang lebih baik bukan hanya saling sikat, bukan hanya ngerahin macem-macem,” sebutnya.
Meski demikian, politik ini adalah esensi dari bangsa dalam segala hal, termasuk Mahabarata dan Ramayana sebagai buku politik.
“Jadi, kita tidak boleh anti politik, termasuk politisi dan sebagai akademisi, saya mendorong kolaborasi antara akademisi dan politisi. Jangan lihat partai dan bajunya, tapi semangatnya,” kata Dr. Ni Kadek Surpi.
Sementara itu, Prof. Gautam Kumar Jha adalah penulis asal India yang meluncurkan BukuĀ berjudul “Singgasana Battisi-Takhta 32 Bidadari” sebagai sebuah karya yang merefleksikan peran penting cerita dalam membentuk wawasan, karakter dan kepemimpinan ditengah masyarakat.
Prof. Gautam Kumar Jha menyatakan Buku Singgasana Battisi Takhta 32 Bidadari mengupas makna dan relevansi Singgasana Battisi dalam konteks sosial, budaya dan pendidikan.
Ia menulis buku ini karena mengetahui ketika berkeliling di Indonesia, ada kebutuhan yang mendesak akan buku cerita.
Sebagai ilmuwan yang aktif, Prof. Gautam Kumar Jha akhirnya memutuskan menulis buku yang sesungguhnya berisi ajaran tentang politik, kepemimpinan dan karakter, tetapi melalui cerita.
“Singgasana Battisi adalah jendela untuk memahami bahwa cerita bukan hanya hiburan, tetapi juga sarana pembentukan cara pandang, penanaman nilai, dan inspirasi bagi generasi mendatang,” terangnya.
Melalui Diskusi dan Bedah Buku Singgasana Battisi, Prof Gautam Kumar Jha berharap buku ini disambut baik oleh publik di Indonesia.
“Saya menulis buku ini berbahasa Indonesia dan dibantu editing oleh Dr. Ni Kadek Surpi dibawah penerbut Dharma Pustaka Utama,” terangnya.
Apalagi, Buku Singgasana Battisi Takhta 32 Bidadari membahas Kisah Agung Raja Vikramaditya sebagai figur yang sering disebut dalam tradisi India, berada di persimpangan antara sejarah dan mitos.
Dalam kerangka historis, sejumlah sejarawan meyakini bahwa Vikramaditya bukanlah satu individu tunggal, melainkan gelar kehormatan yang digunakan oleh beberapa raja besar, khususnya di India Utara.
Salah satu kandidat terkuat adalah Chandragupta II dari Dinasti Gupta (abad ke-4ā5 M), yang pemerintahannya memang dikenal sebagai Golden Age India, masa kemajuan pesat dalam sastra, seni, astronomi dan perdagangan.
Bahkan, ada pula teori yang menyatakan nama ini terkait dengan penguasa Malwa yang memulai era penanggalan Vikram Samvat pada 57 SM, meski bukti arkeologis untuk periode tersebut masih diperdebatkan.
Disisi lain, sumber utama yang membentuk citra Vikramaditya banyak berasal dari karya sastra seperti Vikram-Betaal dan Simhasana Dvatrimsika, yang lebih berfungsi sebagai literatur moral-filosofis ketimbang catatan kronik faktual.
Menariknya, konstruksi legenda ini tampaknya bersifat retroaktif mencampurkan ingatan kolektif akan raja-raja bijak dari masa Gupta dan Shaka, lalu meramunya menjadi satu figur ideal yang dijadikan model kepemimpinan.
Jika dilihat dari perspektif historis-budaya, ajaran yang dilekatkan pada sosok ini bukanlah sekadar nasihat moral, melainkan representasi nilai-nilai politik dan sosial yang memang dipraktikkan pada masa kejayaan India kuno.
Prinsip keadilan tanpa pandang bulu, keberanian dalam menghadapi tantangan eksternal, dukungan terhadap seni dan ilmu, serta kemampuan mengintegrasikan logika dengan etika, semuanya adalah refleksi dari tata pemerintahan yang menjadi fondasi stabilitas imperium.
Di era modern, relevansinya tetap kuat, yakni integritas hukum seperti yang diceritakan dalam Simhasana Dvatrimsika menjadi tolok ukur kepemimpinan politik, keteguhan menghadapi risiko ala kisah Vikram-Betaal menjadi inspirasi inovasi, sementara perlindungan terhadap cendekiawan dan seniman mengingatkan bahwa modal intelektual adalah kunci daya saing bangsa.
Dengan demikian, meskipun identitas Vikramaditya sebagai tokoh tunggal sulit diverifikasi secara historis, ajaran yang dikaitkan dengannya merupakan kristalisasi pengalaman politik, sosial, dan kultural India kuno yang tetap relevan hingga sekarang.
Raja Vikramaditya, figur legendaris dari tradisi India, kerap digambarkan sebagai pemimpin ideal yang menggabungkan keberanian, kebijaksanaan dan komitmen pada keadilan.
Meski catatan sejarahnya bercampur antara fakta dan mitos, kisah-kisahnya seperti dalam Vikram-Betaal dan Simhasana Dvatrimsika memuat pesan moral yang relevan lintas zaman.
Ā Dalam legenda, ia digambarkan memerintah dari Ujjain pada masa yang disebut Zaman Keemasan, melindungi para cendekiawan dan seniman yang dikenal sebagai “Navaratnas”, sembari menegakkan hukum tanpa pandang bulu, bahkan jika harus menghukum kerabat sendiri.
Keberaniannya tampak dalam tekad mengejar roh Betal, meski tahu setiap pertemuan akan memaksanya menjawab teka-teki sulit yang berisiko tinggi, sementara kebijaksanaannya terlihat dari kemampuannya menimbang logika dan etika sebelum mengambil keputusan.
Nilai-nilai ini, jika dibawa ke konteks modern, menjadi pedoman penting: integritas hukum bagi pemimpin politik, keberanian intelektual bagi inovator, pengambilan keputusan berbasis data sekaligus etika bagi manajer, dan dukungan pada riset serta seni bagi pembuat kebijakan.
Walau bersifat semi-mitos, narasi tentang Vikramaditya berfungsi sebagai perangkat pendidikan moral, mengajarkan bahwa kemajuan sebuah peradaban bertumpu pada keadilan, pengetahuan, dan keberanian menghadapi ketidakpastian.
Dengan demikian, warisannya tetap hidup bukan hanya sebagai cerita masa lampau, tetapi sebagai prinsip yang terus membimbing kepemimpinan dan kehidupan publik hingga kini.
Vikramaditya adalah sosok legendaris dalam budaya India, dikenal sebagai pendiri era Vikram Samvat pada tahun 57āÆSM setelah menaklukkan Saka sebagai penanggalan yang kemudian menjadi kalender resmi di Nepal, bernama Bikram Sambat dan tetap digunakan dalam berbagai konteks legal dan budaya di sana hingga kini.
Nama “Vikramaditya” sendiri merupakan gelar kehormatan, yang berarti matahari keberanian (dari Vikrama: keberanian, dan Aditya: matahari), dan telah diadopsi oleh berbagai raja dari masa kuno hingga pertengahan India.
Salah satu figur sejarah yang paling kuat diasosiasikan dengan gelar ini adalah Chandragupta II dari Dinasti Gupta (sekitar 375ā415āÆM), yang dikenal sebagai Chandragupta Vikramaditya.
Ia memerintah India pada puncak keemasannya, memperluas wilayah melalui penaklukan Sassanids dan Western Kshatrapas serta mengintegrasikan wilayah Vakataka melalui pernikahan menjadikan imperium Gupta merentang dari Oxus hingga Bengal, dan dari kaki Himalaya hingga Narmada.
Selain itu, banyak raja berasal dari Dinasti Chalukya juga menggunakan gelar ini. Vikramaditya I (memerintah 655ā680āÆM) merupakan tokoh yang memulihkan stabilitas kerajaan Chalukya Selatan setelah kekacauan dahsyat serta berhasil mendorong mundur kekuatan Pallava dari ibu kota Vatapi.
Kemudian, Vikramaditya II (733ā744āÆM) melanjutkan gaya kepemimpinan prestisius, dengan menaklukkan Kanchipuram sebanyak tiga kali sebagai mahkota dan juga sebagai anak mahkota serta mendirikan candi-candi penting seperti Virupaksha dan Mallikarjuna di Pattadakal, yang kini menjadi situs warisan dunia UNESCO.
Tak kalah penting, Vikramaditya VI (1076ā1126āÆM) adalah penguasa Chalukya terlama dan paling berpengaruh dari periode selatan: melalui kampanye militer yang sukses.
Ia menguasai wilayah yang membentang dari Kaveri hingga Narmada, meredam pengaruh Chola, memperkuat seni dan sastra Kannada dan Sanskerta serta mendapat pujian luas sebagai pemimpin yang toleran dan visioner Vikramaditya, sebagaimana tercermin dari beragam versi sejarah dan legenda, bukanlah satu tokoh tunggal.
Ia merupakan gelar kehormatan yang melambangkan citra raja ideal, penguasa berani, adil, dan berbudaya. Penggunaan nama ini oleh Chandragupta II, raja klasik Dinasti Gupta, memperkuat asosiasinya dengan era keemasan dalam sejarah India.
Sementara itu, para raja Chalukya yang menggusung gelar tersebut, seperti Vikramaditya I, II, dan VI, secara nyata menunjukkan kualitas kepemimpinan melalui stabilitas politik, penaklukan teritorial dan kontribusi budaya.
Dengan demikian, meski sosok “Vikramaditya” sering dibalut dalam legenda, akar historisnya sangat nyata mewakili kekuasaan ideal, sinergi antara militer dan budaya serta transformasi sosial-politik yang berlangsung dalam rentang zaman Gupta hingga Chalukya.
“Jika Anda ingin, saya dapat memperdalam pembahasan ini dengan memfokuskan pada aspek politik, budaya, atau warisan arkeologis masing-masing tokoh Vikramaditya,” tambahnya.
Tak kalah pentingnya, Prof. Gautam Kumar Jha menyebutkan India dan Indonesia sebagai daerah yang sama-sama mengusung kebudayaan sangat luar biasa.
“Sebagai peneliti 25 tahun, saya pikir Bali itu adalah India Kuno atau India Original yang disebutkan dalam buku Mahabarata, Ramayana dan lain-lainnya. Saya lihat itu dalam masyarakat Bali,” terangnya.
Menurutnya, buku-buku pengetahuan dalam bahasa India seharusnya diterjemahkan ke dalam bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Dengan bantuan Dr. Ni Kadek Surpi, pihaknya bakal mewujudkan tujuan-tujuan tersebut.
Seperti Raja-Raja di Nusantara pada umumnya, lanjutnya Raja Vikramaditya di India juga menerbitkan prasasti yang daerah kekuasaannya hampir seluruh India.
“Itu ukuran prasasti, seperti abad 6 hingga abad 7 orang-orang sudah mulai menulis tentang keberanian dan keadilan Raja. Ini seperti kita dalam bahasa politik disebut struktur negara. Jika orang-orang sudah jujur, adil dan punya kebijaksanaan berarti ada harmonis dalam masyarakat. Mereka di masa depan menjadi pemimpin yang bagus sekali, karena masyarakat mempercayai pemimpin seperti itu,” tuturnya.
Patut diketahui, bahwa
Diskusi dan Bedah Buku Singgasana Battisi melibatkan peserta dari berbagai latar belakang akademisi, mahasiswa, pemerhati sastra hingga masyarakat umum yang memiliki ketertarikan pada literatur dan nilai-nilai kebijaksanaan Timur.
Acara Diskusi dan Bedah Buku Singgasana Battisi Takhta 32 Bidadari ini langsung dibuka oleh Ida Pandita Mpu Acharya Jaya Daksa Vedananda sebagai tokoh spiritual Hindu dari Griya Taman Ganapati, Banjar Gede, Desa Muncan, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem.
Turut hadir, Anak Agung Ngurah Gede Widiada sebagai Ketua Bapilu DPW Partai
Nasdem Bali, Made Suastika Ekasana selaku
Wakil Ketua Bidang Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan PHDI Provinsi Bali, Pengurus Sabha Kerta Sulinggih Bali, Ida Pandita Mpu Acarya Jaya Daksa Wedananda, Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Agni Yogananda Griya Santabana Payuk Bangli serta sejumlah Sulinggih lainnya.
Hadir pula, Akademisi Universitas Udayana, Prof.Dr.Ir. I Gusti Ngurah Nitya Santhiarsa, MT., Kepala International Office ISI Bali, Prof. Dr. Ni Ketut Dewi Yulianti, S.S., M.Hum., M.Sn., beserta sejumlah akademisi lainnya.
Selain itu, juga hadir Plt. Ketua DPW Partai Perindo Provinsi Bali I Ketut Putra Ismaya Jaya yang akrab disapa Jero Bima serta sejumlah tokoh politik lainnya. (Red).