Daerah

Deadline Sudah Jatuh Tempo, DPRD Bali Tegas usulkan Pembongkaran GWK ke Pemprov

DENPASAR, Matakompas.com – Manajemen Garuda Wisnu Kencana (GWK) hingga Senin (29/9) belum juga membongkar tembok pembatas yang menutup akses jalan warga Banjar Adat Giri Dharma, Desa Adat Ungasan, Kuta Selatan, Badung. Padahal, Komisi I DPRD Bali telah mengeluarkan surat rekomendasi agar akses jalan tersebut segera dibuka kembali untuk kepentingan masyarakat.

Rekomendasi Komisi I dikeluarkan sejak Senin, 22 September 2025, dengan batas waktu tujuh hari. Ketua DPRD Bali Dewa Made Mahayadnya bahkan memberi ultimatum bahwa jika jalan tidak dibongkar, DPRD akan memberi kewenangan penuh kepada eksekutif dan Satpol PP untuk mengeksekusi pembongkaran.

Ketua Pansus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (Trap), I Made Supartha, menegaskan persoalan GWK tidak bisa dipandang sepele karena menyangkut banyak aspek, mulai dari pelanggaran hukum, hak asasi manusia, hingga pelecehan terhadap nilai budaya Bali.

“Saya usulkan, supaya langsung urusan GWK ini diambil oleh pimpinan DPRD Provinsi Bali dan lembaga. Karena ini kan banyak sekali masalahnya, bukan saja terhadap pembangkangan terkait penutupan akses warga yang ada di belakang itu ya. Itu di tembok itu sudah pelanggaran HAM itu. Ada pura-pura juga di sana yang (akses) juga ditutup. Itu kan tidak benar,” kata anggota Komisi I DPRD Bali ini.

Ia menilai, sikap GWK yang tidak pernah hadir memenuhi panggilan Dewan merupakan bentuk pembangkangan. Bahkan, menurutnya, langkah itu melanggar tata tertib lembaga dan sejumlah aturan perundang-undangan, termasuk keterbukaan informasi publik. “Nutup jalan ada pidananya, memberikan informasi yang tidak maksimal juga ada pidananya,” ujarnya.

Supartha juga menyoroti sisi filosofis pembangunan GWK yang dinilainya tidak sesuai dengan konsep kosmologi Hindu Bali. Dalam konsep Dewata Nawa Sanga, Wisnu seharusnya ditempatkan di arah utara, bukan di lokasi selatan. Hal ini, katanya, mencerminkan ketidakpekaan terhadap budaya Bali.

 

Lebih jauh, Supartha menyebut DPRD sudah memberikan batas waktu pembongkaran tembok GWK hingga Senin malam pukul 00.00 Wita. Jika tidak dilaksanakan, maka eksekutif bersama Satpol PP harus segera turun tangan. “Ya bongkar aja, kita punya kewenangan dengan eksekutif. Kan rekomendasi itu harus diikuti oleh eksekutif. Jadi ini sudah pekerjaan bersama antara eksekutif, legislatif sebagai penyelenggara pemerintah,” tegasnya.

Soal status jalan yang ditutup, Supartha menegaskan jalur tersebut sudah menjadi milik Pemerintah Kabupaten Badung melalui proses hibah. “Itu apalagi kan itu jalan sudah jelas tadi disampaikan milik pemerintah daerah Badung. Sudah dihibahkan kepada juga pemerintah Badung. Kok bisa jalan dijual itu lho, gimana dulu itu,” kata Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali ini.

Supartha menilai sikap GWK ini bisa dikategorikan sebagai bentuk arogansi investor. Menurutnya, penutupan jalan dan klaim sepihak atas tanah yang status hukumnya ‘terindikasi’ belum jelas merupakan tindakan yang merugikan masyarakat Bali.

Selain mendesak pembongkaran, Supartha mengusulkan agar perizinan GWK dievaluasi. Jika kegiatan di kawasan tersebut terus menimbulkan konflik, DPRD memiliki kewenangan untuk melakukan langkah tegas, termasuk penutupan. Menurutnya, hal ini penting untuk menjaga kepentingan dan persatuan Bali.

Terkait alasan manajemen GWK yang mengklaim sudah melakukan sosialisasi pada April 2024, Supartha menilai hal itu tidak benar-benar dijalankan secara terbuka. “Sosialisasi itu kan cuman ngomong kosong aja. Sosialisasi kan harusnya disampaikan kepada masyarakat luas. Kenapa kita diajak sosialisasi DPRD, bila perlu sosialisasi itu ke DPRD juga. Jangan alasan sudah melakukan sosialisasi kemudian itu dipakai sebagai alasan pembenar. Enggak juga,” pungkasnya.

Sebelumnya diketahui, Ketua Komisi I DPRD Bali I Nyoman Budiutama bersama anggota telah mengeluarkan rekomendasi terhadap masalah ini. Dasar hukumnya adalah UUD 1945 Pasal 28D mengenai hak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta Pasal 33 ayat (3) yang menegaskan bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

DPRD juga mengutip Pasal 43 huruf a PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang hak pengelolaan tanah, yang secara tegas melarang pemegang hak guna bangunan (HGB) menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum, akses publik, maupun jalan air.

Selain itu, Budiutama menekankan Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Penutupan akses jalan, menurut DPRD, jelas bertentangan dengan ketentuan tersebut karena menghambat mobilitas warga dan mengganggu kelancaran aktivitas sehari-hari.

Sejumlah aturan lain juga disoroti, di antaranya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang memuat ancaman pidana bagi pihak yang menutup jalan umum, Pasal 192 KUHP mengenai perbuatan merintangi jalan umum, Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum, hingga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jika penutupan jalan menimbulkan dampak terhadap lingkungan.

Komisi I menekankan kewajiban perusahaan untuk memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar. “Menutup akses jalan tanpa memperhitungkan dampak terhadap warga dinilai sebagai tindakan semena-mena yang tidak sejalan dengan prinsip tanggung jawab sosial,” tegasnya.

Budiutama menambahkan, jika hak warga tetap diabaikan, masyarakat memiliki jalur hukum yang bisa ditempuh. Antara lain dengan melakukan mediasi atau musyawarah bersama pihak terkait, mengajukan pengaduan kepada pemerintah daerah, melapor ke Ombudsman Republik Indonesia, hingga menggugat ke pengadilan untuk meminta agar akses jalan dibuka kembali atau perusahaan diwajibkan menyediakan solusi yang layak. (Red)

  Banner Iklan Rafting Jarrak Travel

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button