
DENPASAR, Matakompas.com – Panitia Khusus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (Pansus TRAP) DPRD Bali menegaskan akan mengeluarkan rekomendasi tegas atas berbagai temuan pelanggaran tata ruang di Bali. Dari penerbitan sertifikat di kawasan konservasi, pembangunan di sempadan sungai, hingga praktik-praktik ‘tukar guling’ atas lahan konservasi yang dinilai janggal, seluruhnya kini masuk dalam agenda evaluasi pansus.
Sebelumnya, dalam sidak yang dilakukan pansus bersama sejumlah OPD pada 17 September lalu menemukan pelanggaran mencolok di beberapa titik. Di Tohpati, ditemukan bangunan yang berdiri di atas sempadan sungai dan bahkan melakukan penyempitan alur dengan mendirikan tembok pembatas. Sungai yang mengalir dari Denpasar-Gianyar ini terhimpir diantara dua perusahaan besar, berinisial UCS dan V, menjadikannya salah satu titik paling parah saat banjir bandang
Selanjutnya, tepat di depan Hongkong Garden, Bypass Ngurah Rai, Kertelangu, Kesiman berdiri bangunan yang tepat disebrang sungai/ sempadan sungai yang menurut Pansus tidak memiliki izin. Saat itu, Pansus meminta agar bangunan itu ditutup sementara. Di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, pansus kembali menemukan keberadaan pabrik manufaktur penyedia bahan bangunan, EcoCrete di atas lahan yang ‘terindikasi’ lahan konservasi.
Sementara di sekitar Mall Bali Galeria (MBG), terdapat sungai atau telabah (saluran air). Namun, aliran airnya dinilai menyempit akibat tidak adanya pelebaran jalur air, pintu air yang tidak difungsikan, serta ketiadaan pompa untuk mencegah genangan. Kondisi ini disebut memperparah risiko banjir di wilayah sekitar.
Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, I Made Supartha, menyatakan akan membahas rekomendasi atas tindak lanjut atas temuan itu. Ia mengatakan rekomendasinya bisa beragam, mulai dari pembongkaran bangunan, penghentian sementara usaha, hingga pencabutan izin. “Sesuai dengan apa yang dilanggar, karena pelanggarannya kan beda-beda,” ujarnya ditemui usai rapat di Gedung DPRD Bali, Denpasar, Selasa (23/9) siang.
Terlebih soal Tahura, menurutnya, bukan sekadar masalah sertifikat, melainkan status kawasan yang secara jelas merupakan wilayah konservasi dan hutan lindung tempat mangrove tumbuh. Ia menekankan perlunya kajian mendalam berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Undang-undang pesisir dan pulau-pulau kecil itu tidak boleh melakukan sertifikat, tidak boleh juga ada kegiatan reklamasinya. Tidak boleh ada penebangan pemotongan mangrove, itu prinsipnya,” papar Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali itu.
Anggota pansus lainnya, Putu Diah Pradnya Maharani alias Gek Diah, menambahkan keberadaan pansus sangat penting untuk memfokuskan pengawasan tata ruang, perizinan, sekaligus aset daerah. Seluruh temuan, katanya, akan diperkuat menjadi rekomendasi agar bisa menjadi acuan bagi penindakan hukum.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali, I Made Daging, yang hadir dalam rapat bersama pansus, mengakui bahwa pihaknya menemukan indikasi sertifikat yang berhimpitan dengan kawasan perhutanan, khususnya di Tahura Ngurah Rai. Namun ia menegaskan data yang dimiliki BPN saat ini masih bersifat awal dan perlu pendalaman lebih lanjut.
“Data yang kami sampaikan tadi juga, data awal ya. Data awal, data yang indikasi ada terbit sertifikat yang beririsan ataupun masuk dengan kawasan perhutanan. Nah, tentu itu perlu pendalaman lagi, pastinya. Perlu kami dalami, perlu koordinasi juga dengan Dinas Kehutanan,” ujarnya.
Selain soal sertifikat, rapat juga menyoroti alih fungsi lahan mangrove yang dulunya berstatus kawasan perhutanan, tetapi kini telah berubah menjadi kawasan industri. Menurut Daging, lahan tersebut sudah bersertifikat atas nama warga Bali, dengan riwayat tanah adat yang dikonversi. Tata ruang terakhir bahkan menyatakan kawasan itu masuk peruntukan industri.
Ternyata lahan yang digunakan WN Rusia mendirikan pabrik termasuk dalam 106 bidang tanah bersertifikat yang dimiliki oleh perorangan yang beririsan langsung dengan kawasan Tahura Mangrove. Dari 106 bidang tanah tersebut, dibagi menjadi 71 bidang tanah masuk wilayah Badung, sisanya 35 bidang tanah masuk wilayah Kota Denpasar.
“Kalau terkait dengan Tahura ada indikasi yang memang berimpitan maupun ada yang masuk, tapi itu perlu dipastikan dan benar kalau memang masuk kawasan hutan boleh dibatalkan itu. Karena kawasan ndak boleh diterbitkan sertifikat sama perorangan maupun badan hukum,” jelas Made Daging.
Menurut Daging, jika kawasan benar-benar ingin dijadikan kawasan Tahura Mangrove, maka tata ruangnya mesti diperbaiki. “Jadi ini mesti menjadi Pekerjaan Rumah (PR) kita bersama. Kalau mau supaya disitu tidak ada bangunan, tata ruang mesti diperbaiki kan itu juga penting kepastian investasi buat masyarakat. Tata ruangnya itu untuk kawasan industri loh,” imbuhnya.
“Itu sudah bersertifikat atas nama perorangan orang Bali. Dan itu asal-usul atau riwayat tanah tersebut milik adat, diproses dengan konversi dan tata ruangnya cocok juga,” ujarnya. Made Daging mengaku belum mengetahui secara pasti proses konversi lahan tersebut. Namun, ia menduga hal itu terjadi sekitar tahun 2023. “Kalau di Rencana Detail Tata Ruang (RDTL) sekitar 2023 atau 2024 baru-baru ini,” lanjutnya.
Bahkan sebelum dilakukan konversi, Daging mengaku tidak mengetahui secara pasti peruntukan lahan tersebut, apakah termasuk kawasan Tahura Mangrove atau justru kawasan industri. “Mesti kita lihat tata ruang sebelumnya, saya sendiri tidak hafal. Kalau tata ruang terakhir yang berlaku hari ini RDTL menyatakan itu kawasan peruntukan industri,” terangnya.
Daging juga menepis dugaan adanya reklamasi sengaja di kawasan tersebut. Menurutnya, perubahan fisik lahan bisa saja terjadi karena genangan air yang muncul belakangan, atau sebaliknya, rawa yang kemudian diurug menjadi daratan.
“Ada kemungkinan dulu tanah, kemudian tergenang air jadi hidup bakau. Ada kemungkinan juga awalnya air diuruk jadi daratan. Nah itu mesti kita pastikan. Saya nggak mau bicara dengan data yang masih mentah,” jelasnya.
Dalam rapat itu, DPRD juga menyoroti keberadaan pabrik di kawasan Tahura yang diduga dimiliki warga negara Rusia. Menanggapi hal ini, Daging menegaskan lahan pabrik tersebut secara legal adalah milik perorangan warga negara Indonesia dengan riwayat tanah adat yang sudah dikonversi.
Lebih jauh, Pansus menegaskan persoalan di Tahura harus dilihat dalam kerangka kawasan konservasi, bukan hanya kepemilikan sertifikat. “Kalau boleh harus lakukan kajian yang dalam. Apakah ini wilayah yang boleh disertifikatkan atau tidak? Itu yang harus dipastikan,” kata Supartha.
Dengan temuan ini, pansus memastikan akan merumuskan rekomendasi kuat agar setiap pelanggaran tata ruang di Bali bisa ditindaklanjuti secara tegas, termasuk bila menyangkut kawasan konservasi yang selama ini dilindungi undang-undang. (Red)