13 Bangunan Liar dan Bangunan Baru di Jatiluwih Tabanan,, Kapan DiBongkar seperti Pantai Bingin???

TABANAN, Matakompas.com | Subak Jatiluwih terletak di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali merupakan bagian dari Cultural Landscape of Bali Province yang diakui sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh UNESCO pada 2012.
Luas total kawasan Subak yang menjadi WBD sekitar 19.500 hektar mencakup lima rice terrace dan water temple sebagai contoh sistem subak dalam mengelola irigasi dan pertanian secara demokratis dan egaliter.
Sistem irigasi Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD), dalam sidang ke-36 Komite Warisan Dunia UNESCO di St. Petersburg, Rusia, pada 29 Juli 2012.
Penetapan ini mengakui Subak sebagai sistem yang tidak hanya unggul dan maju dalam pengelolaan air, tetapi juga merupakan perwujudan dari filosofi Tri Hita Karana yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam lingkungan.
Demikian disampaikan Direktur Yayasan Bintang Gana Bali, yang juga Ketua Forum Peduli Bali I Nyoman Mardika, saat dikonfirmasi awak media, Minggu, 24 Agustus 2025.
Menurutnya, UNESCO mengakui Subak, karena sistemnya sudah ada sejak abad ke-11 Masehi dan merupakan manifestasi dari nilai-nilai filosofi Tri Hita Karana.
Beberapa kawasan yang masuk dalam warisan budaya dunia Subak meliputi Gianyar, Buleleng, Bangli, Tabanan dan Badung.
Subak Jatiluwih sendiri merupakan salah satu contoh sistem pertanian berkelanjutan yang berbasis kearifan lokal dan filosofi Tri Hita Karana, yaitu keseimbangan antara manusia, alam dan Tuhan. Sistem ini tidak hanya mengatur irigasi, tetapi juga mencakup aspek sosial, ekonomi, dan spiritual dalam pengelolaan pertanian.
Dalam pengelolaan Subak Jatiluwih, terdapat beberapa komponen penting, seperti Sistem Irigasi: Subak memiliki sistem irigasi yang kompleks dan terorganisir dengan baik, memungkinkan petani untuk mengelola air secara efektif dan efisien.
Organisasi Petani, Subak adalah organisasi petani tradisional yang memiliki perangkat kepemimpinan dan aturan-aturan adat untuk mengelola pertanian dan irigasi.
Pengakuan UNESCO terhadap Subak Jatiluwih sebagai WBD tidak hanya membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal, tetapi juga meningkatkan kesadaran akan pentingnya melestarikan budaya dan kearifan lokal dalam pengelolaan pertanian.
“Sejak 29 Juni 2012 Kawasan Jatiluwih sebagai WBD, karena salah satu peninggalan Irigasi Subak yang masih lestari sampai saat ini,” kata Nyoman Mardika.
Menurutnya, Subak tidak hanya sebagai teknis irigasi, tetapi juga filosofi Hindu, yaitu Tri Hita Karana.
UNESCO memperkenalkan Jatiluwih memiliki keindahan yang alami, kebudayaan rakyat, dengan cerita agrarisnya serta sebagai Eco Torism.
Dengan potensi keindahan yang dimiliki Jatiluwih, mengundang pemilik modal untuk membuka usaha, seiring hal tersebut, pelanggaran terhadap Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) dengan adanya 13 bangunan diantaranya rumah makan yang melanggar sepadan jalan, pelanggaran Perda No. 3 Tahun 2023 tentang RTRW Kabupaten Tabanan.
Selain itu, juga melanggar WBD Lansekap Catur Angga Batukaru dan sekitarnya yang ditetapkan UNESCO.
Pelanggaran Jatiluwih semakin parah, tidak hanya ada 13 pembangunan akomodasi pariwisata yang illegal, tetapi ada pembangunan baru yang belum ditindak tegas oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan.
Pembangunan baru itu tidak hanya tampak dari pinggir jalan, tetapi ada juga pembangunan yang benar-benar di tengah sawah Jatiluwih.
Kurangnya pengawasan dan lambatnya tindakan dari instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan, berdampak ancaman pencabutan status Jatiluwih sebagai WBD oleh UNESCO, yang dikhawatirkan bisa menimbulkan degradasi budaya dan lingkungan, tidak hanya bagi Kabupaten Tabanan, tapi juga Bali secara keseluruhan.
Upaya penyelamatan terhadap WBD, harus tetap dilakukan oleh pemangku kepentingan, baik masyarakat, pemilik usaha, dan utamanya Pemerintah, sehingga pelanggaran demi pelanggaran tidak berlanjut.
Padahal, berbagai event internasional di Bali, panitia penyelenggara kegiatan membawa undangan VVIP ke Jatiluwih sebagai site event demi memperkenalkan Jatiluwih secara internasional.
“Tapi, jangan hanya sebagai lip service, dengan mengabaikan pelestarian budaya dan lingkungan,” tegasnya.
Kondisi Jatiluwih yang memprihantikan telah disoroti banyak pihak, yakni Rektor Dwijendra, Prof. Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc. MMA., yang juga Ketua HKTI Bali, Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana (Unud) Prof Dr I Putu Anom M.Par., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar Prof. Dr. I Made Suwitra, SH.,MH., Guru Besar FEB Undiknas Prof. Dr. IB Raka Suardana, SE.,MM., Pengamat Kebijakan Publik Dr I Nyoman Sender yang juga Alumni Program Studi Ilmu Agama Program Pascasarjana Universitas Hindu Negeri (UHN) I Gusti Bagus Sugriwa, Alumni S2 Asian Institute of Management Manila, Filipina, S1 Unibersitas Tabanan dan S1 Universitas Brawijaya.
Begitu pula, Praktisi Pariwisata, Mantan VP Marketing PT Taman Wisata Candi Borobudur-Prambanan dan Ratu Boko, UNESCO World Cultural Heritage Ngurah Paramartha, Advokat Gede Pasek Suardika yang juga Mantan DPR dan DPD RI Dapil Bali, termasuk seorang mahasiswa Arsitektur Lanskap dari Universitas Udayana Bijan Parsia, Wakil Ketua II DHD Angkatan 45 Provinsi Bali Made Dharma Putra, Purna Tugas Widyaiswara.
Hal itu, juga telah disoroti oleh Pengamat Kebijakan Publik Jro Gde Sudibya yang juga Bentara Budaya Bali dan Pembawa Berita Kebudayaan Bali, Wayan Sukayasa, S.H.,M.I.Kom., sebagai Pemerhati Implementasi Kedaerahan Bali, seperti, Seni, Budaya, Adat dan Tradisi Kearifan Lokal, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (PERADI SAI) Denpasar I Wayan Purwita, S.H., M.H., CLA., President of Perhimpunan Indonesia NSW (PI-NSW) Dr. Rudolf Wirawan, Ketua Yayasan Tamiang Bali Mandiri yang Ketua KITA Indonesia, Founder Agro Learning Center (ALC), Inisiator Bali Green Initiative (BGI) serta Mantan Staff Ahli Anggota DPD RI Dapil Bali Dr. Dr. Made Mangku Pastika.
Bahkan, permasalahan Jatiluwih juga disoroti Wakil Ketua DPRD Bali, I Wayan Disel Astawa, Ketua Fraksi Gerindra-PSI DPRD Bali I Gede Harja Astawa, Ketua Fraksi Golkar DPRD Bali Anak Agung Bagus Tri Candra Arka alias Gung Cok yang juga Anggota Komisi IV DPRD Bali, Anggota Komisi I DPRD Provinsi Bali Drs. I Wayan Gunawan, MAP., Ketua DPRD Tabanan I Nyoman Arnawa dan Ketua PC KMHDI Tabanan I Gede Komang Agus Pande Suryawan.
Sebelumnya, Pengamat Kebijakan Publik Putu Suasta yang juga Alumni Cornell University dan UGM memuji keberanian Gubernur Bali Wayan Koster membongkar 48 pemilik bangunan liar di Pantai Bingin, Desa Pecatu, Badung.
Pada saat itu, Gubernur Koster didampingi Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali, Dewa Nyoman Rai Darmadi, Bupati Badung, Adi Arnawa, Kasatpol PP Badung, I Gst Agung Ketut Suryanegara dan segenap jajaran melakukan pembongkaran di Pantai Bingin, Desa Pecatu, Senin, 21 Juli 2025.
Setelah melakukan pembongkaran Pantai Bingin, diharapkan dilanjutkan ke tempat lain secara konsisten, berkeadilan dan tidak tebang pilih.
Mengingat, kondisi dan ancaman terhadap Subak Jatiluwih Tabanan telah menjadi sorotan banyak pihak. Sayangnya, belum mendapatkan perhatian serius oleh Pemerintah.
Padahal, The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atau Badan Khusus PBB yang membidangi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan telah mengancam mencabut status Subak Jatiluwih di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD).
Demikian disampaikan Wakil Delegasi Tetap Indonesia untuk UNESCO, Prof. Ismunandar, disela-sela pelaksanaan World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali, Kamis, 23 Mei 2024.
Prof. Ismunandar mengungkapkan bahwa alasan pencabutan situs budaya Subak Jatiluwih, karena belakangan ini makin marak munculnya restoran dan kafe di kawasan persawahan tersebut.
Namun, Desa Jatiluwih telah menerima penghargaan sebagai salah satu Desa Terbaik Dunia 2024 dari United Nations Tourism.
Penghargaan bergengsi ini diberikan dalam acara UN-Tourism di Kolombia sebagai pengakuan atas komitmen Desa Jatiluwih terhadap pariwisata berkelanjutan, pelestarian budaya, dan pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab.
“Saya apresiasi Bapak Koster, Gubernur Bali, awalnya dikira takut membongkar bangunan liar Pantai Bingin. Tapi saat ini sudah berani ambil sikap. Ini juga mesti diterapkan menjaga lahan hijau, baik persawahan Canggu, Kawasan Mangrove, Tahura Ngurah Rai, sepadan sungai, danau, tebing, jalan, penambangan galian C bodong, termasuk Jatiluwih yang tengah jadi sorotan publik,” kata Putu Suasta yang juga Pendiri Forum Merah Putih, Yayasan Wisnu dan Penasehat LSM JARRAK di Denpasar, Rabu, 23 Juli 2025.
Penerapan aturan itu harus dinilai adil, supaya wibawa Gubernur Bali Wayan Koster tidak diremehkan oleh masyarakat dan netizen.
Apalagi, Kepala Daerah Denpasar, Tabanan, Buleleng, Gianyar, Jembrana, kecuali Karangasem sudah satu jalur, dengan visi Gubernur Bali “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”. Diharapkan, implementasinya semakin nyata dan membumi. “Tidak hanya bergema dalam pidato-pidato formal saja,” kata Putu Suasta.
Ditambah, perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB)Tahun 2025 yang mengusung tema “Jagat Kerthi: Lokahita Samudaya (Harmoni Semesta Raya)”, yang eharusnya Lahan Sawah Dilindungi (LSD), jalur hijau, kebun, gunung, danau, bukit, mangrove, terumbu karang, koral, sumber mata air, sungai, lautan mendapatkan perlindungan prioritas.
Begitu pula, tanah-tanah Pemerintah dikelola dengan transparan dan diumumkan secara publik, sehingga masyarakat ikut mengawasi.
Putu Suasta juga meminta penertiban secara adil, khususnya dalam menertibkan pelanggaran di Kawasan Jatiluwih yang sudah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD). Setelah bangunan liar Pantai Bingin dibongkar, kapan dibongkar di Jatiwulih?
Apabila pembangunan dibiarkan oleh Pemda justru akan lebih besar merugikan yang membangun akomodasi pariwisata. Sedangkan, pelanggaran bangunan dengan melakukan pembiaran bisa terkena ancaman perdata dan pidana.
“Upaya itu mencegah kesan Kongkalikong atau istilah bahasa gaul yang berarti tidak jujur, curang atau bersekongkol dalam melakukan sesuatu yang tidak baik,” bebernya.
Mengingat, masifnya pelanggaran Tata Ruang dan alih fungsi Lahan Sawah untuk pembangunan pariwisata. Jika hal itu terjadi terus-menerus, pembangunan Bali tidak sesuai dengan Asta Cita Presiden Prabowo, khususnya dalam mewujudkan swasembada pangan.
Bahkan Forum Penataan Tata Ruang (FPTR) dari Pemda Tabanan yang baru terbentuk bulan Maret 2025 justru menemukan 13 bangunan akomodasi pariwisata yang melakukan pelanggaran di kawasan WBD Jatiluwih terkait Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 tahun 2023.
Hal itu juga telah disoroti oleh Pengamat Kebijakan Publik Jro Gde Sudibya yang juga Bentara Budaya Bali dan Pembawa Berita Kebudayaan Bali, Wayan Sukayasa, S.H.,M.I.Kom., sebagai Pemerhati Implementasi Kedaerahan Bali, seperti, Seni, Budaya, Adat dan Tradisi Kearifan Lokal, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (PERADI SAI) Denpasar I Wayan Purwita, S.H., M.H., CLA., Ketua Fraksi Gerindra-PSI DPRD Bali I Gede Harja Astawa, Ketua Fraksi Golkar DPRD Bali Anak Agung Bagus Tri Candra Arka alis Gung Cok yang juga Anggota Komisi IV DPRD Bali, Anggota Komisi I DPRD Provinsi Bali Drs. I Wayan Gunawan, MAP.
Sebelumnya juga Kementerian Pariwisata (Kemenpar) memperkuat sinergi dan kolaborasi dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dalam upaya pengembangan pariwisata berkualitas dan berkelanjutan, khususnya dalam menghadapi tantangan dan isu-isu terkini di salah satu provinsi unggulan pariwisata Indonesia tersebut.
Menteri Pariwisata (Menpar) Widiyanti Putri Wardhana dalam “Courtesy Meeting” dengan Gubernur Bali Wayan Koster, Jumat, 28 Juli 2025, mengatakan Bali merupakan destinasi yang sangat strategis dan memiliki posisi krusial dalam peta pariwisata Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan jumlah kunjungan wisatawan, baik mancanegara maupun nusantara yang terus meningkat setiap tahunnya.
“Bali menjadi contoh nyata bagaimana pariwisata menjadi penggerak ekonomi daerah. Jadi, izinkan kami menaruh perhatian khusus pada Bali,” kata Menteri Pariwisata di Gedung Kertha Saba, Denpasar, Bali.
Menteri Pariwisata Widiyanti menjelaskan, terdapat sejumlah tantangan yang harus segera mendapat tindak lanjut melalui sinergi yang kuat. Pertama terkait akomodasi, khususnya vila yang tidak memiliki izin operasi resmi.
Selain itu, juga tantangan pembangunan dan tata ruang pariwisata di Bali yang perlu lebih merata dan tanpa menggeser fungsi lahan produktif.
Kementerian Pariwisata memberikan atensi khusus terhadap permasalahan ini, dan siap untuk terus berkolaborasi dengan pihak-pihak terkait untuk melakukan pembahasan strategis.
“Kami mengapresiasi inisiatif pemerintah provinsi yang tidak hanya berkomitmen menata yang non-resmi, tetapi juga memverifikasi dan mengawasi akomodasi resmi agar tetap akurat dan terkini,” tegasnya. (red/tim).