
DENPASAR, Matakompas.com | Kasus Ashram Ditutup di Karangasem belum tuntas ditangani oleh Polres Karangasem.
Kini, Organisasi ISKCON-INDONESIA kembali mendatangi Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Kepolisian Daerah (Polda) Bali di Denpasar, Rabu, 6 Agustus 2025.
Pada kesempatan tersebut, Pelapor Organisasi ISKCON-INDONESIA meliputi Dr. I Wayan Suasta, S.Pd.H,. M.Phil.H., bersama I Wayan Bareng, S.Ag. AKP (Purn.) POL. I Ketut Juwita didampingi Kuasa Hukum Dr. Dewa Krisna Prasada S.H., M.H.
Mereka melaporkan dua pemilik Akun Facebook (FB) “SA” dan “GT” ke Ditreskrimsus Polda Bali, sebagaimana Laporan Polisi Nomor: STPL/1506/VIII//2025/SPKT/POLDA BALI tentang adanya dugaan tindak pidana Ujaran Kebencian/SARA.
Unggahan dan komentar yang dilakukan oleh akun “SA” dan “GT” dugaan mengandung narasi diskriminatif dan provokatif yang dilakukan secara terbuka di ruang digital.
Tindakan ini menunjukkan indikasi pelanggaran hukum yang terstruktur dan berulang, dengan muatan ujaran kebencian yang menyasar komunitas keagamaan tertentu, khususnya sampradaya yang bernaung dalam ISKCON-INDONESIA.
Suasta mengatakan, pihaknya melakukan pelaporan terhadap pemilik akun SA dan GT atas unggahan berupa komentar berisikan ungkapan diskriminatif hingga muatan ujaran kebencian terhadap komunitas keagamaan (Sampradaya) yang bernaung dalam ISKCON-Indonesia.
“Jadi, saya melaporkan dua akun FB ke Krimsus Polda Bali, karena telah membuat dan mengunggah narasi yang berbau provokatif dan ujaran kebencian terhadap SARA. Kami khawatir hal-hal ini bisa memicu adanya benturan di masyarakat, juga hal ini telah banyak merugikan pihak kami,” kata Suasta.
Suasta juga menjelaskan, unggahan berupa komentar yang menggunakan istilah “Sampradaya Tutup Permanen” dan “Berkedok Hindu” menjadi dasar laporannya, dinilai sebagai suatu ujaran kebencian yang menunjukkan intensi untuk mendelegitimasi keberadaan kelompok agama tertentu (Sampradaya), berpotensi mendorong pembentukan opini publik yang menyudutkan pihaknya.
“Harapan kita melaporkan agar ditindak, siapa yang berupaya membenturkan kami. Baiknya, narasi-narasi yang seperti itu tidak dipublikasikan karena akan merugikan pihak kami,” lanjutnya.
Sementara itu, Dewa Krisna selaku Kuasa Hukum menambahkan, dua akun FB, yakni SA dan GT dilaporkan atas pelanggaran Pasal 160 KUHP dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE sebagai serangan terhadap hak atas kebebasan beragama yang dijamin dalam UUD 1945 ke Ditreskrimsus Polda Bali.
Pasal 28E ayat (2) UUDN RI 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Pasal ini menjadi dasar bahwa tindakan kelompok tersebut memenuhi unsur tindakan yang bertengangan dengan UUDN RI Tahun 1945.
Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal ini relevan dengan intimidasi terhadap para pemeluk keyakinan Kesadaran Krishna dalam Yayasan ISKCON-INDONESIA.
Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE): “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1. 000.O00. 000,00 (satu miliar rupiah)”. Menentukan mengenai penyebaran ujaran kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di media sosial.
Pasal 156 KUHP: “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara”. Pasal ini mengatur ujaran kebebcian terhadap agama dan keyakinan, relevan dengan aktivitas media sosial terlapor.
Pasal 160 KUHP: “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diherikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun utau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Mengatur perbuatan melawan hukum terkait ajakan menutup tempat ibadah, mengusir umat, atau mendiskriminasi kelompok tertentu.
Begitu juga Pasal 4 dan Pasal 16 UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis: Dalam ketentuan ini memuat mengenai pelarang setiap tindakan diskriminatif berdasarkan ras atau etnis. Ketentuan pasal ini relevan karena dalam laporan ini erat kaitannya dengan ujaran merendahkan, menolak, atau mengusir kelompok tertentu karena dianggap “bukan bagian dari etnis/agama lokal”.
“Tentu kami memiliki dasar hukum yang kuat untuk melakukan pelaporan ke Polisi. Narasi-narasi yang dimaksud jelas telah merugikan klien kami, komentarnya mengandung ajakan kolektif untuk membatasi, menutup, atau menyerang eksistensi kelompok tertentu berdasarkan agama, merupakan ujaran kebencian dan intoleransi yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan pluralisme yang dijunjung tinggi oleh konstitusi Indonesia,” paparnya.
Selain itu, pihaknya juga turut memberikan peringatan terhadap akun-akun serupa yang juga turut membuat dan menyebarkan konten yang mengarah terhadap intoleransi, bahwa pihaknya benar-benar tidak main-main untuk mendorong intervensi hukum dan meminta aparat kepolisian untuk bisa menindak tegas para pelakunya, karena telah memanfaatkan platform digital sebagai wadah penyebaran isu-isu diskriminasi berbasis agama dan keyakinan tertentu, sebagaimana Laporan Polisi Nomor: STPL/1506/VIII//2025/SPKT/POLDA BALI.
“Pada intinya, kami menuntut pertanggungjawaban langsung dari kedua pemilik akun terlapor atas unggahan dan komentar mereka yang bernada provokatif, tidak langsung menimbulkan ketidakjelasan mengenai motif dan tujuan utama dari seruan untuk menutup sampradaya,” imbuhnya.
Muatan itu mengarah pada bentuk persekusi digital dan sosial yang berpotensi mengganggu ketertiban umum serta mengancam kebebasan beribadah warga negara.
Selain itu, penggunaan istilah “Sampradaya Tutup Permanen” dan “Berkedok Hindu”, dalam konteks publik menunjukkan intensi untuk mendelegitimasi keberadaan kelompok agama tertentu, serta mendorong pembentukan opini publik yang menyudutkan secara kolektif.
Hal ini dapat dikualifikasikan sebagai bentuk hasutan (penghasutan publik) yang dilarang dalam Pasal 160 KUHP dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, serta sebagai serangan terhadap hak atas kebebasan beragama yang dijamin dalam UUD 1945.
Komentar-komentar yang mengandung ajakan kolektif untuk membatasi, menutup, atau menyerang eksistensi kelompok tertentu berdasarkan agama dan keyakinan merupakan bentuk nyata dari ujaran kebencian dan intoleransi yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan pluralisme yang dijunjung tinggi oleh konstitusi Indonesia. Hal ini mencerminkan upaya tekanan sosial terorganisir terhadap minoritas keagamaan.
Tidak adanya klarifikasi, permintaan maaf, atau penarikan pernyataan dari pihak akun-akun yang terlibat menunjukkan bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan kesadaran dan kehendak untuk menyebarkan dampak diskriminatif.
Dengan demikian, perbuatan tersebut patut dikaji sebagai tindak pidana ujaran kebencian, diskriminasi SARA, dan penghasutan, yang harus diproses sesuai hukum untuk menjamin rasa aman dan keadilan bagi semua warga negara tanpa memandang latar belakang keyakinannya.
Sebelumnya juga, pihaknya telah melakukan Laporan Dugaan Tindak Pidana Persekusi, Intimidasi, dan Pelanggaran terhadap Kebebasan Beragama kepada Kapolres Karangasem pada tanggal 15 Juni 2025.
Terkait perkembangan kasus Penutupan Ashram di Amlapura, Karangasem, pihaknya menyampaikan informasi berdasarkan surat resmi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polres Karangasem, dengan nomor B/161/VI/RES.1.24./2025/Reskrim dan nomor B/294/VI/RES.1.24./2025/Reskrim telah diterbitkan surat panggilan klarifikasi pelapor yaitu Dewa Anom perwakilan dari Organisasi ISKCON-INDONESIA yang ada ditempat kejadian perkara persekusi guna memberikan keterangan dalam rangka penyelidikan kasus yang dilaporkan.
Proses ini tentunya merupakan lanjutan dari Laporan Informasi dengan Nomor: LI/125/VI/2025/Reskrim dan dilanjutkan dengan Surat Perintah Tugas Penyelidikan Nomor: SP.Lidik/482/VI/RES.1.24./2025/Reskrim pada tanggal 16 Juni 2025.
“Proses hukum masih berjalan dan kami menghormati setiap langkah yang diambil oleh pihak kepolisian sesuai prosedur yang berlaku,” kata Dr. Dewa Krisna Prasada didampingi Dr Febriansyah Ramadhan, I Gede Druvananda Abhiseka, I Gusti Agung Kiddy Krsna dan I Ketut Dody Arta Kariawan. (red/tim).