13 Pelanggaran Tata Ruang Disorot Kelestarian Subak Terancam, Meski WBD Jatiluwih Diakui UNESCO, Wayan Sukayasa Minta Bebaskan Semua Pajak Petani

DENPASAR, Matakompas.com | DTW (Daerah Tujuan Wisata) Jatiluwih merupakan sebuah kawasan sawah berundak di kaki Gunung Batukaru, Bali berlokasi di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh UNESCO pada 2012.
Namun, pengakuan ini sangat kontras di lapangan, yang justru membawa dampak negatif, seperti pelanggaran Tata Ruang dan Alih Fungsi Lahan sawah untuk pembangunan pariwisata.
Parahnya lagi, Forum Penataan Tata Ruang (FPTR) yang baru terbentuk bulan Maret 2025 justru menemukan 13 bangunan akomodasi pariwisata yang melakukan pelanggaran di kawasan WBD Jatiluwih terkait Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 tahun 2023. Selain itu, juga melanggar WBD Landskep Catur Angga Batukaru dan disekitarnya yang ditetapkan UNESCO.
Ironisnya lagi, Forum Penataan Tata Ruang (FPTR) Kabupaten Tabanan belum bersikap tegas atas 13 Pelanggaran Tata Ruang di WBD Jatiluwih, yang disinyalir menghalangi pemandangan Gunung dan Sawah Terasering sebagai ciri khas WBD Jatiluwih.
Hal tersebut mendapat perhatian serius Wayan Sukayasa, S.H.,M.I.Kom., sebagai Pemerhati Implementasi Kedaerahan Bali, seperti, Seni, Budaya, Adat dan Tradisi Kearifan Lokal. Secara tegas, Wayan Sukayasa menyoroti masalah yang seringkali terjadi terkait Alih Fungsi Lahan.
“Banyak lahan sawah produktif diubah menjadi tempat parkir, restoran, penginapan dan vila, yang mengancam kelestarian lingkungan dan sistem subak,” kata Wayan Sukayasa yang juga pernah gagal menjadi Anggota DPD RI, saat dikonfirmasi awak media di Denpasar, Selasa, 8 Juli 2025.
Selain itu, Wayan Sukayasa juga menyebutkan tidak adanya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), akibat kurangnya regulasi yang jelas tentang penggunaan lahan dan pembangunan di Jatiluwih. Hal tersebut justru sangat memperburuk keadaan di DTW Jatiluwih.
Diperparah lagi, kurangnya partisipasi petani, dikarenakan petani lokal tidak mendapatkan bagian yang adil dari pendapatan pariwisata, sehingga mereka mencari cara sendiri untuk mendapatkan penghasilan dan membayar pajak bumi.
“Jadi, untuk membantu petani, sebaiknya semua tanah milik petani, pajak buminya dibebaskan,” tegasnya.
Kondisi tersebut, lanjutnya berdampak besar bagi kerusakan lingkungan. Tak hanya itu, Alih Fungsi Lahan sawah dapat mengancam kelestarian lingkungan dan sistem subak yang unik.
“Itu bisa membuat kehancuran kawasan. Jika situasi ini terus berlanjut, Jatiluwih dapat mengalami kehancuran dan kehilangan nilai-nilai budaya yang unik.
Disamping itu, dinilai karena secara politik bangsa Indonesia belum mampu menunjukan eksistensinya sebagai sebuah bangsa, yang masih menggunakan aliansi pusat.
“Sisi ekonomi bangsa kita masih selalu menekankan dengan aturan dari Pusat mengedepankan Pajak Pusat. Sementara, Daerah selalu jadi penonton dan dibuat warganya di daerah tidak bisa mempertahankan kearifan lokalnya,” tegasnya.
Begitu juga secara kultur, mentalitas kolonial membuat bangsa tidak lagi berada pada gotong-royong untuk menjaga bersama-sama, seperti seni, adat budaya tradisi serta kearifan lokalnya berkurang.
Ditambah lagi, mereka tidak mau melaporkan dan tidak berani menyampaikan, karena selalu menyerahkan pada Pemeintah.
Terakhir, Pemerintah Tabanan seakan tidak memiliki kemampuan dan keberanian untuk menindak pelanggaran, karena instansi terkait dengan kemapuannya terbatas dan selalu menunggu perintah Kepala Daerah.
Padahal, pengawasan berada pada legislatif dan berani merekomendasikan
penindakan, seperti menyurati, memanggil untuk klarifikasi, dengan anailsis dan kajian pelanggaran hingga terbukti di lapangan dan wajib tupoksi legeslatif sebagai pengawasan serta merekomendasikan, seperti menghentikan, menutup, mencabut izin pengelola hingga pihak eksekutif bertindak sesuai SOP.
Begitu juga sesuai pamanfaatan, pengelolaan, pelestarian lingkungan hidup sesuai visi misi Gubermur Bali, yakni “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”.
Tak hanya itu, hal tersebut juga termasuk visi Presiden Prabowo terkait swasembada pangan dalam mewujudkan kemandirian pangan nasional dengan memastikan ketersediaan, keterjangkauan dan kualitas pangan yang cukup bagi seluruh rakyat Indonesia, yang diproduksi dari dalam negeri.
“Hal ini mencakup peningkatan produksi berbagai komoditas pangan strategis seperti beras, jagung, kedelai serta peningkatan kesejahteraan petani,” urainya.
Untuk itu, Wayan Sukayasa menawarkan
solusi dengan cara pengelolaan berbasis komunitas dengan memberikan kewenangan lebih besar kepada petani lokal dan komunitas dalam mengelola Jatiluwih pada kearifan lokal sebagai WBD.
“Pembagian Hasil yang Adil, itu akan memberikan bagian yang adil dari pendapatan pariwisata kepada petani lokal,” paparnya.
Selain itu, juga harus diterapkan pelestarian kawasan dengan mengembangkan Jatiluwih sebagai Museum Hidup (Eco Museum) untuk melestarikan kawasan dan budaya lokal.
“Untuk memperkuat kokohnya kearifan lokal, menjaga tradisi pertanian para petaninya pajak bumi milik petani diperjuangkan, guna dibebaskan tanpa bayar,” kata Wayan Sukayasa, yang akrab disapa Yanse13. (red/tim).