Daerah

BNNP Bali Bersinergi Dengan Rumah Sakit Hingga Puskesmas Untuk Memperluas Layanan Rehabilitasi

Denpasar, Matakompas.com – BNN Provinsi Bali mendorong perluasan layanan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika, tidak hanya di rumah sakit, tetapi hingga ke tingkat puskesmas. Tujuannya, agar pecandu atau korban penyalahgunaan narkoba bisa lebih mudah mendapatkan penanganan sebelum terjerat proses hukum.

 

Hingga April 2025 ini, Bali memiliki total 23 lembaga rehabilitasi yang beroperasi. Terdiri dari 7 lembaga milik BNN (yakni Klinik Pratama BNNP Bali dan BNNK se-Bali), 8 lembaga milik instansi pemerintah sebagai mitra BNN, serta 8 lembaga rehabilitasi milik komponen masyarakat yang juga bermitra dengan BNN.

 

Koordinator Humas BNN Provinsi Bali, Made Dwi Saputra seijin Kepala BNNP Bali Brigjen Pol. Rudy Ahmad Sudrajat, S.I.K., M.H mengatakan, rehabilitasi merupakan salah satu upaya utama untuk menekan angka kecanduan narkoba. “Kalau ada semakin banyak tempat rehabilitasi tentunya semakin baik. Kita dorong semua lembaga kesehatan, mulai dari rumah sakit sampai puskesmas, untuk bisa menerima layanan rehabilitasi bagi pecandu atau penyalahguna narkoba,” ujarnya, Minggu (13/4).

 

Namun, Dwi menegaskan untuk membuka layanan tersebut, setiap fasilitas kesehatan harus mendapat penguatan, terutama dari sisi sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur. Konselor khusus menjadi elemen penting dalam pelaksanaan rehabilitasi. “SDM-nya harus ada konselor. Kami secara rutin mengundang pemerintah daerah untuk diberikan penguatan tenaga medis agar bisa menjalankan peran sebagai konselor,” imbuhnya. Ia menyebut, harapannya ke depan layanan rehabilitasi dapat diterima mulai dari rumah sakit hingga puskesmas.

 

 

Penambahan pusat rehabilitasi ini dinilai sangat penting, mengingat pasar peredaran narkotika di Bali belum surut. Sebagai contoh, kasus yang ditangani Pengadilan Negeri (PN) Denpasar pada tahun 2024 didominasi oleh kasus narkoba tercatat mencapai 605 kasus. Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 556 kasus. Di sisi lain, BNN Bali sendiri mengungkapkan sepanjang tahun 2024, mereka menangani 48 kasus narkoba dengan 51 orang tersangka.

 

BNN Bali saat ini telah mendata sejumlah puskesmas yang siap melayani rehabilitasi meski masih sebatas rawat jalan. Meski belum dapat menyebut jumlah pasti, Dwi memastikan beberapa sudah berjalan. “Berapanya nanti saya harus pastikan lagi datanya karena kalau bicara masalah angka kami harus croscheck lagi. Tapi yang jelas sudah ada,” sebutnya.

 

Sosialisasi program rehabilitasi ini terus dilakukan BNN Bali melalui berbagai kanal. “Kami manfaatkan media sosial dan media massa untuk menyampaikan pesan ini ke masyarakat. Tujuannya agar masyarakat tahu, rehabilitasi ini bisa diakses dan bersifat sukarela,” kata Dwi. BNN juga menegaskan layanan rehabilitasi bagi pengguna narkoba di kantor BNN bersifat gratis. “Kalau rehabilitasi di BNN itu gratis. Tidak dipungut biaya. Tidak dituntut pidana kalau dia melapor atas kesadaran sendiri, bukan setelah proses hukum,” tandasnya.

 

Privasi pengguna juga dijamin. Hal ini penting, terutama bagi korban yang masih sekolah atau bekerja agar bisa tetap beraktivitas. “Jadi kalau yang lagi sekolah atau bekerja ada masalah dengan narkoba, bisa datang ke BNN. Privasinya kami jamin. Yang penting mereka datang sebelum proses hukum,” jelas Dwi. Terkait layanan di rumah sakit daerah, menurutnya secara fasilitas sudah siap, namun masih minim pemanfaatan. “Cuma memang yang mengakses layanan tersebut belum banyak. Mungkin karena masyarakat masih menganggap ini tabu atau malu,” katanya.

 

Dalam aspek penegakan hukum, Dwi menanggapi persoalan perlakuan hukum terhadap pecandu narkoba yang kerap disamakan dengan pengedar, meski barang bukti yang dimiliki kecil. Ia menjelaskan, sesuai dengan UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pecandu atau korban penyalahgunaan seharusnya direhabilitasi.

 

Namun dalam praktiknya, tak sedikit pecandu yang juga berperan sebagai pengedar. Untuk itulah dibentuk tim asesmen terpadu yang terdiri dari unsur hukum dan kesehatan. Tim ini berfungsi mendalami peran pelaku sebelum proses hukum dilanjutkan. “Kalau dia hanya terlibat sebagai pecandu atau korban, tentu rekomendasinya rehab. Tapi kalau dia juga terlibat dalam jaringan pengedar, proses hukumnya tetap lanjut dan rehabilitasi tetap diberikan,” jelas Dwi.

 

Ia menambahkan rekomendasi dari tim asesmen menjadi pertimbangan penting dalam proses hukum, namun keputusan akhir tetap berada di pengadilan. “Tim ini akan memberikan rekomendasi, tapi keputusan ada pada kejaksaan dan pengadilan. Tidak hanya berpaku pada proses di BNN saja karena proses hukumnya kan kompleks,” pungkasnya.  (Red)

  Banner Iklan Rafting Jarrak Travel

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button