Rudenim Denpasar Deportasi Pria Libya Setelah Terlibat Cekcok dan Penganiayaan Terhadap WN Rusia
BADUNG, MataKompas.com – Rudenim Denpasar dibawah kepemimpinan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan RI Agus Andrianto ini kembali mengambil tindakan tegas dalam penegakan hukum keimigrasian dengan mendeportasi warga negara Libya berinisial HMSA (31), Selasa (17/12/2024), setelah ia terbukti melanggar sejumlah peraturan di Indonesia, termasuk terlibat dalam kasus penganiayaan yang terjadi di Bali.
Kepala Rudenim Denpasar Gede Dudy Duwita menerangkan bahwa HMSA memegang Izin Tinggal Sementara (ITAS) Investor yang berlaku hingga 21 Maret 2025, yang dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Kelas I TPI Denpasar dengan penjamin PT CLG. Meskipun ia memiliki izin tinggal yang sah, HMSA terlibat dalam tindak pidana penganiayaan terhadap seorang warga negara Rusia, berinisial GM, pada 30 Oktober 2024 di sebuah restoran di bilangan Tibubeneng, Kuta Utara.
Pada hari Rabu, 30 Oktober 2024, sekitar pukul 04.00 WITA, peristiwa penganiayaan ini bermula saat korban, GM, sedang berada di toilet restoran tiba-tiba, HMSA yang berada di lokasi yang sama memaksa masuk dan menyerobot antrean toilet, kemudian melontarkan kata-kata kasar kepada korban. Ketegangan semakin memuncak saat keduanya terlibat adu argumen di dalam toilet. HMSA yang merasa marah sempat melemparkan gelas kaca ke arah korban, namun korban berhasil menghindar. Setelah insiden tersebut, petugas keamanan restoran meminta kedua belah pihak untuk keluar dari area tersebut. Di luar, HMSA bersama seorang temannya kembali menghampiri korban dan melontarkan kata-kata kasar, serta kata-kata hina lainnya.
Tanpa diduga oleh korban, HMSA secara tiba-tiba mengeluarkan pisau dan menusukkan benda tajam tersebut ke arah dada kiri korban sebanyak satu kali. Akibat kejadian ini, korban mengalami luka robek terbuka pada bagian dada sebelah kiri yang memerlukan 12 jahitan untuk menanganinya. Pakaian korban juga robek akibat tusukan tersebut. Korban segera melaporkan kejadian ini ke Polsek Kuta Utara untuk diproses lebih lanjut secara hukum.
Atas tindakannya HMSA sempat mendekam selama 45 hari di Polsek Kuta Utara untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut. Namun akhirnya kasus ini diselesaikan melalui mekanisme restorative justice setelah HMSA dan GM sepakat berdamai, yang mengarah pada penerbitan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Polsek Kuta Utara pada 9 Desember 2024. Berdasarkan surat rekomendasi deportasi dari Kepolisian kepada Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai, HMSA dikenakan sanksi administratif keimigrasian atas pelanggaran Pasal 75 ayat 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Jo. Pasal 351 KUHP mengenai penganiayaan.
Dalam Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, menyatakan bahwa tindakan administratif berupa deportasi dapat dikenakan pada orang asing yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum. Akibatnya, izin tinggal HMSA dibatalkan, dan namanya dimasukkan dalam daftar penangkalan.
Gede Dudy menegaskan bahwa deportasi ini merupakan langkah penting untuk menjaga keamanan dan ketertiban di Bali, serta memastikan bahwa Indonesia tidak menjadi tempat berlindung bagi individu yang terlibat dalam tindakan kriminal. “Kami akan terus bekerja sama dengan pihak berwenang dan lembaga terkait lainnya untuk menegakkan hukum, terutama dalam menjaga ketertiban umum dan integritas Indonesia,” ujar Dudy.
HMSA dideportasi melalui Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai pada 16 Desember 2024 dengan pengawalan ketat petugas Rudenim Denpasar. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan dampak terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat di Bali serta pelanggaran yang dilakukan oleh HMSA.
Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Bali, Pramella Yunidar Pasaribu, menyampaikan bahwa pihaknya akan terus memperkuat pengawasan dan koordinasi dengan berbagai instansi terkait dalam menindak tegas warga negara asing yang melanggar hukum di Indonesia. “Kami tidak akan memberikan toleransi kepada siapa pun yang tidak menghormati peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya dalam hal keimigrasian,” tegas Pramella.
“Sesuai dengan ketentuan Pasal 102 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, penangkalan dapat diberlakukan paling lama enam bulan dan dapat diperpanjang dengan jangka waktu yang sama. Namun, dalam beberapa kasus, penangkalan seumur hidup dapat diterapkan bagi orang asing yang dinilai membahayakan keamanan dan ketertiban umum. Keputusan akhir mengenai hal ini akan diputuskan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi setelah mempertimbangkan keseluruhan kasus secara komprehensif,” tutup Dudy. (Red/AJ).